Rabu, 13 Agustus 2014

Volume 3 Chapter 3 : Children Records I



Rekaman Anak-Anak I
  
Kasur dorong yang membuat suara berisik itu, dengan cepat lewat di depan mataku.

Aku agak terkejut karena jarakku sangat dekat dengan kasur dorong itu, tapi situasinya di sana saat ini sangat serius hingga tidak ada yang bisa kulihat bahkan hanya sekilas.

Dan kasur dorong yang dibawa itu, mungkin agak berat, namun hal paling lemah yang pernah kulihat di dunia ini.

Itulah mengapa hal itu menyusahkan bagi rumah sakit. Karena mereka harus menghadapi hal-hal semacam ini.

Karena biasanya dalam kehidupan sehari-hari tidak peduli apa atau siapapun mereka harus bersikap disiplin dan tersiksa untuk memahami kengerian akan kematian, dan “hal-hal semcam” itulah.

Berapa lama waktu telah berlalu sejak saat itu.

Mungkin karena tiba-tiba disuruh berlari, kakiku yang “sedikit lebih kuat dari brokoli” jadi lemas dan gemetaran. Untuk sementara, kurasa kakiku tidak akan berguna.


Yah, tentu saja. Aku menggunakan kakiku dalam hari-hari biasa hanya ketika aku pergi ke toilet dan kamar mandi. Dengan menggunakan kaki ini untuk pergi ke toko departemen dan taman bermain, dan akhirnya tiba-tiba berlari untuk semua keinginannya. Bahkan jika bukan aku, aku bertaruh hasilnya akan sama.

Lagipula, apa sih yang dipikirkan Ene. Tidak tunggu, aku TIDAK akan pernah mengerti tahu apa yang dipikirkan Ene. Lebih lagi, aku bahkan tidak mau tahu ada apa dengannya yang jahil dan selalu berpikiran jahat itu.

Namun, hari ini Ene membuatku tidak bisa untuk mencemaskannya lagi. Di jalan pulang dari taman hiburan, dia tiba-tiba bekata “Bisakah kau mengejar orang itu?!” dan membuatku terpaksa mengejar mobil ambulans, ketika akhirnya kai sampai di rumah sakit ia bahkan mengatakan  “Bisakah Master meninggalkanku sendiri dengan orang ini sebentar?” dan ponselku berada di tangan pemuda yang AKU TIDAK KENAL SAMA SEKALI, dan kemudian aku dibawa ke sebuah tempat tidak jelas, dan sungguh, ini sangat tidak masuk akal.

Dan situasi SEKARANG, aku berdiri di depan ruang pemeriksaan yang seorang bocah tak kukenal dibawa masuk, sambil memikirkan seluruh pertanyaan, dan tidak bisa kemanapun sama sekali, aku hanya harus menunggu wali dari bocah ini, yang sedang bersama ENE untuk kembali.

Aku duduk dengan santai seolah semuanya akan baik-baik saja, tapi semakin aku memikirkannya, semakin aku berpikir bahwa keberadaanku di sini bisa dibilang tidak dibutuhkan. Aku bahkan tidak mengenal anak itu, dan bukan karena aku sedang mencari sesuatu, tapi hanya duduk dan menunggu.

Jika orangtua bocah itu sekarang berada di sini aku yakin mereka akan menanyaiku “ada apa denganmu?”. Dan aku hanya akan tersenyum muram, berkata “enggak bukan apa-apa…….”

Aku muak dengan akhir-akhir ini. Aku sudah terbiasa dengan perbuatan aneh Ene yang membuat kepalaku pusing, tapi dia sudah terlaluuuu keterlaluan beberapa hari ini. Aku akan langsung pulang ke rumah setelah Ene kembali, dan hidup seperti biasa lagi, tapi, apakah Mekakushi-Dan mengijinkanku kembali?

Segala macam masalah tertumpuk bersamaan, hanya memikirkannya saja membuat kepalaku benar-benar kesakitan.

"Ini benar-benar konyol………"

"HAAA." Aku menghela nafas.

"Hal paling konyol terjadi tepat di sebelahku…. Serius deh….."

Tiba-tiba sesuatu di sampingku, seolah mengikutiku untuk menghela nafas “haa” dan bergumam, aku terkejut sampai melompat dari kursi.

"Woahhwahhh!!! Kau, sejak kapan kau di situ!"

Saat aku menoleh, pemuda berambut putih yang kupinjami Ene, sedang duduk di kursi, dia mengangkat kepalanya dan memberiku ekspresi tidak mengerti.

"Maaf…. Aku ……"

Pemuda itu terlihat berpikir kalau aku marah padanya, dan dia menggunakan nada bicara yang pelan untuk meminta maaf.

Namun ekspresinya yang tidak pernah berubah sama sekali membuatnya tampak bodoh dan sepertinya dia sudah kurang khawatir dibanding sebelumnya, sementara aku tidak menanggapinya, berpikir “Apa yang dia coba katakan”, membuat situasi menjadi hening beberapa saat.

"Eh? Ahh, tak apa…. Bukan kau tapi ini salah anak nakal itu"

Pemuda itu melihat ke arah layar ponselku yang sedang dipengangnya sejak tadi, perempuan berambut biru yang tak asing itu cemberut ngambek sambil mengampung di layar.

"Ya. Apakah ada sesuatu, master"

Dia masih cemberut sambil mengambang di layar, dan dia bahkan tidak menatap ke arahku sama sekali.

"Ah gak, aku hanya mau bilang apakah kau mau pulang. Lagipula siapa sih orang ini. Apakah kau mengenalnya?"

Aku telah dipermainkan kesana-kemari sementara tidak tahu apa yang terjadi. Jadi kupikir tidak salah jika aku mencari sumber yang menyebabkan situasi ini.

Aku menanyainya karena itu, tapi entah kenapa, ketika aku menanyainya, ia menyalakan getara pada ponsel, dan menatapku dengan tajam.

Tatapannya saat itu, adalah sesuatu yang aku tidak pernah lihat sebelumnya selain kepribadiannya yang jahil, tapi entah kenapa, tapi kayaknya aku pernah melihatnya sebelumnya, di suatu tempat.

Menanggapiku yang jadi sedikit takut saat itu, Ene cemberut lagi dan berkata.

"Aku salah. Aku tak mengenalnya. Maaf ya sudah menyuruh Master berlari. Ayo pulang."

Ene mengatakannya dengan geram saat memaparkan kebenarannya, ekspresi kosong pemuda berambut putih itu menjadi sedikit murung, seolah dia berpikir dia bersalah lagi.

"Apa, kau bilang…….. Tak apa jika kau bilang salah mengenali orang, tapi kau menghentikan seseorang  saat kerabatnya dalam keadaan darurat, kau tak merasa bersalah sama sekali?"

"Itu karena….. itu… aaaAAAHHH~~ KAU MENJENGKELKAN!!! Aku 'kan bilang hanya kesalahan?! Tidak heran jika Master tidak laku huh!!"

Ene berteriak, bahu pemuda berambut putih itu sedikit gemetar tanpa mengubah ekspresinya.

Dia terkejut atau apa? Sikapnya sangat kaku dan tak seorangpun bisa mengerti, seolah-olah ia robot saja.

"Itu…. Maafkan aku. Dia marah karena aku. Kupikir"

Pemuda berambut putih itu melihat ke arah kami dengan wajah datarnya, dan berkata dengan intonasi seperti meminta maaf.

"Dia menangis sambil berkata hal seperti ‘Aku merindukanmu’ dan ‘Kupikir kau sudah mati’, tapi aku tak mengerti……. Kupikir dia salah orang."

Seakan 20 detik telah berlalu sejak saat ia mulai berbicara hingga ia berhenti. Aku tak tahu apakah karena aku terbiasa denga cara bicara Ene yang cepat, atau intonasi pemuda ini sangat lambat seakan aku merasa waktu ikut melambat.

Begitu ya. Kurasa karena pemuda ini terlihat seperti teman Ene.

Memang benar pemuda ini memiliki aura yang aneh. Jika ia benar-benar teman Ene, setidaknya aku bisa menerima keanehan tersebut.

Namun, aku lebih cemas pada ponselku yang terus bergetar sejak pemuda ini berhenti berbicara.

Penuh dengan rasa takut aku melihat ke arah layar, ada  Ene yang tidak berwarna biru seperti biasanya, telinganya menjadi sangat berwarna merah dan ia tidak berhenti bergetar.

"Kau, kau, kenapa-"

"uWAHHHHHH!!! UWAHHHH!! KAU MENJENGKELKAN!!! TIDAK ADA APA-APA!!! JANGAN BICARA LAGI!!!"

Sesaat suasana menjadi hening. Aku bisa sedikit melihat bahu pemuda itu bergetar lagi, tapi ekspresinya tidak berubah.

Bahkan aku yang sudah terbiasa dengan gaya bicaranya ikut terdiam, untuk pertama kalinya aku melihat kelakuan Ene seperti ini.

Pada layar, ada Ene yang memegang kepalanya seraya kakinya menendang, tapi ia mendadak berhenti saat ia menyadari sesuatu, dan membuat senyum dengan keringat dingin padaku.

"…….Kumohon? Master"

Tidak yakin kalau ia mencoba menyembunyikan tindakan salah tingkahnya dariku, atau ia mencoba untuk bersikap seperti biasanya, keheningan di udara perlahan kembali.

Seolah ia tidak senang padaku, wajah Ene menjadi memerah lagi.

"Ada masalah teknis…?"

Kataku sambil mengetuk ponsel, ia kemudian bergetar lagi seolah menunjukkan betapa bencinya ia dengan ucapanku barusan.

"Kaupikir aku siapa??? Ini tak seperti yang kau pikirkan!!!!"

Ene berteriak sangat berisik seolah ia terkejut. Sepertinya ia baik-baik saja. Tidak tampak seperti ada virus, aku kira karena ia demam….. tidak tunggu, dia ini mana bisa demam.

Meskipun ia sudah biasa bertingkah aneh, tapi ia sudah kelewat aneh hari ini.

"Ti-tidak salah 'kan kalau sesekali salah mengenali orang!!! Karena ia terlihat seperti temanku dulu, jadi…. itu, apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh, atau aku mengingat banyak hal, tunggu….? Apakah aku sengaja menunggunya……?"

"Tidak, Aku tak mengerti kau bicara apa sih. Cerita singkatnya, adalah, karena dia terlihat seperti teman lamamu, makanya kau jadi emosional?"

Saat aku selesai, Ene yang mengatakan hal-hal aneh dengan gugup, mendadak diam, seolah tak bisa berkata apa-apa, anehnya, ia malah bingung.

"Ah~ Aku benar-benar tahu kenapa Master tak laku. Mungkin kau akan jomblo selamanya. Yah itu tak buruk. (nada datar)"

"Ehhh?!! Memangnya aku mengatakan sesuatu yang salah?!! Dan juga kenapa aku tak laku!! BERITAHU AKU!!"

"Ah, tolong jangan bicara padaku sementara, kau makhluk menyedihkan."

"OH TIDAK, AKU MENDENGARMU BERKATA ‘MENYEDIHKAN’ IYA 'KAN!!! Bahkan meski kau menyebutkannya dengan pelan aku masih bisa mendengarnya!!"

"Berisik sekali!! Intinya, bahkan aku punya hal yang tak bisa kuberitahu pada Master…….."

Ketika Ene cemberut dan ingin mengatakan sesuatu, suara keras terdengar dari ruang pemeriksaan bocah yang tadinya dengan erat dipeluk oleh pemuda berambut putih itu berada.

Tidak lama kemudian, suatu suara bising besi berjatuhan terdengar.

"………?! Master! Ini gawat!"

 ”Aku tahu…..!”

Melintasi koridor, aku buru-buru membuka pintu ruang pemeriksaan, bocah yang di dalamnya terjatuh di lantai.

Rambut coklat berantakan dan rompi berwarna putih, dilihat dari belakang ia mungkin berusia sekitar 11 tahun. Alat pengukur panas dan perangkat medis lainnya berserakan di lantai, di tengah-tengah, bocah itu merangkak membantu kakinya untuk berdiri, tapi ia tidak bisa.

"Hei, hei, kau ngapain!! Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi kau masih harus berbaring dulu……!"

Aku berjongkok di samping bocah itu untuk membantunya, tapi ia menepis tanganku karena rasa takut.

Saat pertamakali melihat wajahnya yang dipenuh dengan air mata. Di dalam mata berairnya, seolah ada kebencian akan sesuatu di mana ia baru saja selamat dari hal mengerikan, mengeluarkan nuansa hitam gelap dan berat.

"Siapa kau……. jangan…. menghentikanku….!"

Bocah itu berdiri dan tubuhnya terhuyung-huyung, namun ia menstabilkan langkahnya dan menuju pintu keluar sendiri.

"Hiyori….. Aku harus mencari Hiyori……"

Bocah itu bergumam seolah ia bermimpi, dan berjalan ke pintu keluar ruangan tanpa mendengar saran apapun.

Aku dengan cepat menangkapnya, setelah bocah itu melangkah ke luar ruangan, ia bertatapan ia pemuda berambut putih itu.

"Semua ini salahmu……. Takkan ada yang terjadi jika kau tak pernah ada……"

Saat berkata bcah itu memberikan pemuda itu tatapan tajam, dan lagi air matanya tumpah.

Pemuda berambut putih itu menunduk, ia terlihat bingung, tapi ia hanya berdiri dan tak mengatakan apapun.

"Cukup….. Aku harus pergi….. Harus pergi………"

Saat ia selesai berbicara, dengan cepat mengganti arah tubuhnya, dan melarikan diri. Sudah terlambat, bocah itu sudah melarikan diri bersamaan dengan lampu redup koridor rumah sakit, dan menghilang dalam kegelapan tak lama kemudian.

"Ma, master kau ngapain??!! Jika kau tak mengejar anak itu ia akan dalam bahaya?!!"

"Oh oh oh oh. Aku tahu. Ah, kakiku tak bisa lagi….."

Itu benar, pada saat mendesak ini kakiku yang “sedikit lebih kuat dari brokoli” ini mulai memelas gemetaran.

"BAAAAHHHH!!! SERIUS DEH! MASTER EMANGNYA KAU ANAK RUSA??!! Kenapa kau tak berguna pada situasi penting seperti ini…….!"

"Di-diam!! Sebenarnya semua ini salahmu!! JANGAN MENCELA TUBUHKU YANG LEMAH INI!!"

.

Di saat kami memperdebatkan hal tidak berguna, bocah itu telah pergi jauh.

Berdasarkan kecepatannya, aku takut kalau ia bisa melarikan diri dari rumah sakit hanya dalam beberapa menit. Jika begitu, kami akan benar-benar kehilangan jejak. Kemudian kami takkan tahu di mana ia berada sama sekali.

"Panggil suster…. tapi kayaknya udah telat…….. Kubilang, setidaknya bisakah kau lakukan sesuatu!! Meskipun ada sesuatu yang tersembunyi, namun, tetap saja ia kerabatmu 'kan??!! Jika ia pergi jauh kita takkan tahu kemana ia??!!"

Dihadapkan pada pertanyaanku, pemuda berambut putih itu meangguk dengan wajah kebingungan, dan berbicara dengan intonasi sedikit cepat dan stabil.

"Hibiya marah karena aku……. Aku harus melakukan sesuatu...... bi-bisakah kau ikut denganku?"

Ritmenya sedikit kacau, tapi kurasa Hibiya adalah nama dari bocah yang melarikan diri itu. Nampaknya pemuda ini juga merasa ia dalam bahaya. Berkata “ikut denganku”, ekspresi tenang pemuda itu sedikit berbeda, matanya agak terlihat semangat.

"Oh oh, gak gak kupikir aku tak ikut denganmu, kakiku sedang tak bisa digerakkan sekarang….."

"Apanya yang kaki Master tak bisa digerakkan. Kau hanya malas dan kurang olahraga."

"Terserah kau bilang apa aku benar-benar tak bisa lari…… uhm, eh?"

Seolah ia ingin memotong kalimatku, pemuda berambut putih itu muncul di depanku, dan tubuhku langsung merasakan suatu aura tekanan mengambang yang aku tak pernah rasakan selama ini.

"WoahwOOAAAHHH?!!"

Seolah ia sedang bermain mengangkat tinggi-tinggi anak bayi, pemuda ini dengan santai mengangkatku dan meangkutku di pundaknya..

"Maaf, mungkin akan sedikit sakit….."

Setelah ia berkata dengan suara pelan, disertai sebuah ledakan dentuman sonik, koridor terlihat menjauh ke belakang dengan kecepatan tinggi.

Kemudian pemuda itu setengah berjongkok dan dengan pose kuda-kuda ia melompat setinggi beberapa meter, dan aku membutuhkan 1.5 detik untuk menyadari apa yang terjadi.

"GYAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!"



Aku tidak bisa bersuara apapun pada saat itu, tapi setelah melihat keadaan ini lagi, aku hanya bisa berteriak memelas.

"T, t-t-t-turunkan aku….. HUEK!!"

Berusaha keras untuk mengatakan sesuatu, tapi terpotong oleh suara benturan saat ia mendarat, udara yang keluar dari mulutku seolah menggantikan kalimatku.

"M, maaf, tolong bersabarlah sedikit lagi"

Selanjutnya bukanlah gerakan dengan kecepatan tinggi seperti di koridor lagi, tapi permukaan tanah yang tiba-tiba menjauh dariku. Aku sadar bahwa dia melakukan suatu lompatan yang sangat tinggi, aku merasa hampir pingsan.

Aku berusaha untuk menahan keinginanku untuk pingsan dan melihat ponselku yang aku pegang dengan erat, Ene menggunakan benda seperti bantalan untuk menutupi kepalanya, menutup matanya dengan rapat, seolah untuk berlindung dari benturan berikutnya.

"INI SANGAT ANEEEEEEEEEEEEHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!"

Saat aku berteriak, udara menjadi terasa dingin, kami atau tepatnya ia melompat ke langit yang kosong. Atap rumah sakit berada tepat di bawah mataku. jendela yang terbuka di mana kami melompat keluar terlihat menjadi kecil.

Aku ingin tahu bagaimana rasanya skydive. Tidak, tepatnya, firasatku merasa hampir seperti aku menaiki roller coaster sebelumnya.

Aku takut merasa seperti itu lagi saat mendarat nanti, aku akan berakhir seperti apa yang terjadi setelah menaiki roller coaster.

"Ketemu….!"

Pemuda itu berbisik. Mungkin untuk mengurangi benturan mendarat untukku, ia menyingkirkanku dari pundaknya, dan meggendongku di celah lengannya.

Kemudian. Aku diserang sensasi di mana berat badanku menghilang, sekarang kali ini tanah yang mendekat dengan kecepatan tinggi luar biasa.

Otakku mulai melafalkan kalimat “Ketinggian ini akan menyebabkan kematian. TERIMA KASIH” terus-menerus dan berdoa kepada tuhan, seperti Ene sebelumnya, aku menutup mataku dengan rapat.

"DUMP!!" sebuah suara keras disertai dengan benturan gravitasi yang kuat. Benturannya lebih ringan dari yang kuduga. Namun, benturannya cukup kuat untuk merangsang perutku seperti dicampur aduk. Saat aku telah bebas dari benturan pendaratan yang keras, pemuda itu bertanya dengan cemas.

"Kau tak apa?"

"UhhaaaAAA!!!"

Aku yang masih digendongnya, memberikan nafas lega, seolah untuk menjawab pertanyaannya.

"u…. uuuooo……"

Daannn seperti biasa aku muntah. Menyedihkan sekali.

"kyahhh!!! Menjijikan jangan dekat-dekat!!!"

"Haaa….. haaa…. dasar, kau harusnya lebih mengkhawatirkanku ….."

"Maaf, aku melakukannya terlalu cepat. Maaf telah membuatmu panik…."

Dibawa melompat oleh seorang pemuda setinggi beberapa meter dengan kecepatan tinggi, ada berapa banyak tipe orang seperti ini yang dapat ditemukan di dunia ini.

Aku melepaskan diri dari lengan pemuda itu dan berdiri, terhuyung-huyung sementara menatap wajahnya, aku menyadari mata dari wajah datar pemuda ini bercahaya berwarna merah terang.

"Matamu……..tubuhmu juga memilikinya huh. Apa sih yang terjadi sebenarnya."

Aku sudah menduga kemungkinan ini, dari warna matanya dan tindakannya yang tidak biasa, pemuda ini juga mempunyai kekuatan, seperti Momo dan anggota Mekakushi-Dan lainnya.

Aku sudah terbiasa pada kejadian seperti ini karena Momo dan Ene, tapi berkali-kali bertemu dengan banyak orang seperti ini hanya dalam sehari.

Omong-omong, ada apa dengan mata itu? Kupikir lebih baik tidak terlalu jauh menyelidikanya karena rasa penasaran…..

"Siapa kau……."

"Master!! Anak itu keluar dari rumah sakit??!!"

Aku berhenti berpikir dan dengan cepat melihat ke arah yang ditunjuk Ene. Di sepanjang jalan di depan pintu masuk rumah sakit, ada seorang bocah yang berlari.

Dan bocah itu sangat dekat dengan pintu keluar area rumah sakit.

"Hibiya…. Kita akan kehilangannya jika terus begini..!!"

Kata pemuda ini dan memegang lenganku seolah ingin untuk membawaku lagi.

"GAHHH!!! TIDAK, TIDAK!!! AKU TAK BISA LAGI!! Aku mohon padamu JANGAN BAWA AKU!!!"

"M, maaf, aku takkan melakukannya lagi…."

Saat aku menolak, pemuda itu gemetar dan melepaskan tangannya. Meskipun aku sukses menghindari pertunjukka hiburan teriakan yang akan terjadi lagi, memang benar bahwa bocah itu akan berlari menuju jalan jika terus dibiarkan. Akan menjadi masalah jika itu terjadi.

"Tidak, aku tak bisa. Aku takut melakukannya sendiri.... aku tak bisa… wuwu…."

Sikap pemuda itu sungguh tidak terbayangkan di samping sikap tangguhnya, dan dengan lemah menundukkan kepalanya.

Sekali lagi kau melihat ke arah bocah itu berlari menuju pintu masuk, bahka jika kau ingin mengejarnya, kakiku tidak bisa bekerja sama sekali.

Ketika aku hampir menyerah, aku mendadak memikirkan tentang “sesuatu”. Aku dengan cepat berbicara pada ponselku.

"Hei, Ene! Telpon Momo!!"

"Eh? Telpon adik kecil? ……… Ah! Aku ngerti!! Baiklah!!"

Seolah dia mengerti maksudku, Ene menepuk tangannya dan menggunakan tangan kanannya untuk menggambar suatu garis, layar berubah menjadi mode panggilan untuk menelpon Momo.

Setelah sekitaran 2.5 detik, layar memunculkan tulisan besar berwarna hijau “MEMANGGIL.”

"Ah~ Heii apa ini Kakak? Kau sudah selesai dengan urusan Ene~?"

"Sudah, tapi sekarang ada hal yang harus dilakukan…  Momo, di mana kau sekarang?"

"Eh? Uhmm~ Tunggu dulu…. Ketua kita di mana? Ah, makasih. Ah, Kakak? Aku sekarang~ di depan rumah sakit? Di bawah pohon samping….. Ehhh, apa-apaan anak itu. Larinya cepat sekali"

"Heii!!! Hentikan bocah yang berlari itu sekarang juga!! Kumohon!!"

"EHHH??? KENAPAAA??!!"

"INI PENTING!!! KUMOHOOON!!!"

"PENTING?!! Uhm~ OKE…… Baiklah! Akan kucoba!!"

Momo menutup telepon, layar memunculkan tulisan besar berwaran merah “PANGGILAN BERAKHIR.”

"Apakah adik kecil kan baik-baik saja?"

"Dia mungkin memang sedikit bodoh tapi dia lumayan kuat…"

"Ya…. mungkin sedikit bodoh…."

Saat aku melihat, bocah itu hampir mendekati pintu masuk.

Saat ia hampir melewati pintu masuk, bocah itu terpental seolah ia bertabrakan dengan sesuatu.

Sesaat kemudian, Momo mendadak muncul entah dari mana, bocah itu terkejut dan ingin untuk melawan, tapi ditahan dengan kuat oleh Momo hingga ia tak bisa bergerak sama sekali.

"Woahhhh!!! Kerja bagus adik kecil!! Ah~ ah~ tapi dia memeluknya terlalu erat….."

"Dia sepertinya bisa menjadi bantal yang bagus. Baiklah, jika kita tak mengejarnya sekarang…"

"Kaulah yang lambar Master"

Mengabaikan Ene aku melangkah maju, akhirnya ketika aku hampir mendekati pintu masuk, Momo yang dengan erat memeluk bocah itu yang berjuang seolah hampir mati tercekik.

"Ah, Kakak! Ada apa sih….. Ouh itu sakit! Kau jangan bergerak dulu………"

"Maaf Momo. Hei, kau! Aku tak mengerti apa yang terjadi tapi setidaknya bisakah kau tenang dulu! Kau membuat orang khawatir karena mendadak menghilang dari rumah sakit !!"

"Eeehhh!?? Anak ini seorang pasien!?"

Momo mengurangi kekuatan dari tangannya mungkin karena terkejut, bocah itu menyelamatkan diri dari lengan Momo. Wajah bocah itu menjadi merah saat ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian melepaskannya saat ia menatap Momo.

"Kau ngapain sih bibi gendut! Jangan mendadak muncul entah darimana dan menghalangiku!!"

Kata bocah itu saat menatap Momo, karena reaksinya yang lambar ia membuat wajah yang buram untuk beberapa saat, tapi setelah ia mengerti artinya, wajahnya perlahan menjadi merah.

"H- HUHHH??!! bibi g-g-g-gendut……. KAU BILANG APA TADI??!!!!"

"Aku bilang kau bibi gendut !! Aku sedang buru-buru……"

Bocah itu kembali ingin berlari, tapi Momo yang dengan cepat memegang tudung bocah itu, dan menarik mundur tubuh bocah itu.

"K, katanya…….. kau pasien 'kan?!! Tentu saja melarikan diri bukan hal baik untuk dilakukan!! D, dan g, ge, gendut itu……"

Mungkin karena perkataan bocah itu terlalu kasar kepadanya, tubuh Momo mulai gemetaran, dan ia bernafas dengan ritme putus-putus.

Bocah itu sekali lagi menatap Momo, memperbaiki tudungnya yang ditarik, dan berteriak pada Momo lagi.

"Kubilang…..!! Jangan menghentikanku!!! Dan juga aku bukan pasien tak ada apapun yang salah padaku!! Khusus untukmu bibi, kupikir kau harus mengecek tubuhmu yang seperti sapi itu ke dokter?!! Itu pasti penyakit."

Kata  bocah itu sambil menunjuk ke dada Momo atau sekitarnya, dari ponselku Ene tertawa “Puuupuu…. ahh, maaf”, dan suara marah terdengar dari Momo.

"S-Seseorang mengkhawatirkanmu tapi kau!!!!!!! KAU…….!"

Dihina oleh seorang bocah membuat Momo hampir menangis, ketika wajah Momo menjadi merah dan hendak menarik bocah itu lagi, kali ini tudung Momo yang ditarik oleh sesuatu yang tidak terlihat, menghentikannya untuk menyerang.

"L-Lepaskan aku ketua! A-ANAK INI ADALAH MUSUH KITA OH YA MUSUH KITA!!! KEADAAN DARURAT MEKAKUSHI-DAN!!! Lepas~ kan~ aku~ ARGHH~~ ……!!!!!!!!"

Selagi Momo berjuang keras seperti seekor sapi yang sedang marah, digabungkan dengan apa yang anak itu katakan, aku tidak bisa menahan untuk tertawa kecil “ppu,” dan sepertinya Momo mendengarnya dan menatap tajam padaku.

"Kakak kenapa kau tertawa!? Ada apa dengan anak ini?! Mengapa dia menyebutku begitu?!"

"Ah~ Iya aku ngerti. Maaf baik tenanglah dulu. Hei, namamu Hibiya bukan. Kenapa kau terburu-buru? Tidak bisakah kau pergi nanti saja?"

Mendengar apa yang kukatakan, Hibiya tidak mencoba untuk melarikan diri, tapi tanpa menutupi rasa kebencian pada wajahnya yang diperlihatkan padaku.

"…….. Ada seorang perempuan, mungkin dia sudah mati. Seseorang yang penting bagiku. Hanya aku yang bisa menolongnya. Jadi aku harus menolongnya."

Hibiya berkata menyepelekan. Sementara yang lain, menahan nafas setelah mendengar yang dikatakan bocah ini.

Bahkan Momo yang sedari tadi berisik, berhenti bergerak, dan membuka mulutnya seolah ia terkejut.

"T-Tunggu dulu. Mati……. maksudnya kalian berdua terlibat dalam suatu kecelakaan? Jika begitu, lebih baik kita membicarakannya kepada polisi atau dokter dulu. Kau akan kemana sendirian."

Sebelum aku berlari ke rumah sakit, tempat di mana Hibiya pingsang tidak ada tanda dari kecelakaan mobil sama sekali.  Tubunya jelas tidak terluka, dari sudut pandang penonton ia hanya pingsan karena serangan panas.

Itulah yang kupikirkan.

Namun apa yang dikatakan Hibiya, itu bukanlah kejadian mendadak, tapi seperti terlibat dalam suatu kecelakaan. Jika begitu kejadiannya, ia harus membicarakannya kepada polisi.

"Tidak peduli apa yang kukatakan, takkan ada yang mempercayainya. Oh ya, jika kau tak percaya tanya saja dia. Dia hanya berdiri di sana dan melihat sepanjang waktu."

Bocah itu menunjuk pada pemuda itu, pemuda itu terlihat cemas dan memegang kaosnya dengan erat.

"Hei, kau hanya terus melihat sepanjang waktu 'kan? Jika kau tak bisa melakukan apapun setidaknya jelaskan saja"

"Tidak, bukan begitu! Aku... juga mau menolongnya…. tapi.. tapi. Aku... tak punya pilihan…..!"

Saat pemuda itu berkata, bocah itu menggertakkan giginya, dengan tatapan tajam dan menatap pada pemuda itu.

Pemuda itu menunduk seolah tidak bisa menahan tatapan tersebut lagi.

Bocah itu menghela nafas pelan, sekali lagi terlihat ingin melewati pintu masuk.

"…….. terserah. Jika kau tak bisa apa-apa, aku akan pergi sendiri Jangan menghentikan…… ku….."

Ketika bocah itu hendak melangkah maju, tubuhnya mendadak terhuyung dan miring, dan terjatuh ke lantai tanpa perlawanan apapun.

"o, oi!"

Aku bergegas memegang bocah itu namun jaraknya terlalu jauh. Bahkan pemuda itu yang terlihat seperti terkejut, seolah ia merasa memudar setelah mendengar kata-kata bocah itu, reaksinya satu kali lebih lambat dariku.

Bocah itu tidak menandakan tanda-tandan perlawanan, sepertinya ia hanya jatuh begitu saja.

"Sial……!"

Ketika aku berpikir sudah terlambat, tubuh Hibiya tampaknya tergantung oleh suatu tali yang tidak terlihat, dan hanya berhenti di tengah-tengah udara dengan posisi mendongak.

Aku tidak langsung tahu apa yang terjadi, tapi setelah melihat Momo yang kehilangan keseimbangan dan terjatuh di tanah, aku bisa mengerti situasinya.

"Shintaro, anak ini…. lebih baik tak mengembalikannya ke rumah sakit."

Udara di sekitar Hibiya tiba-tiba bergetar, di saat yang sama Kido yang mengenakan parka ungu dengan kepalanya tertutup oleh tudung muncul.

Di balik tudung dengan rambut panjangnya, wajah Kido terlihat tercampur perasaan terkejut dan cemas.

"Tangkapan bagus….. Apa maksudmu dengan itu? Sudah jelas kondisinya sedang buruk. Yah situasinya tak terlihat buruk sih, lagipula lebih baik menitipnya ke dokter atau polisi kan."

"……. tidak, kurasa bahkan dokter dan polisi takkan berguna. Perasaanku mengatakan situasi saat ini hanya kita yang bisa membantunya."

aju menatap Hibiya yang terkulai di tangannya, Kido bergumam sambil memberikan ekspresi seolah ia digigit sesuatu pahit.

Apa yang terjadi sekarang, sementara berpikir, aku berjalan ke samping Kido dan melihat ke wajah bocah itu, dari matanya yang terbuka sedikit, warna merah perlahan-lahan merembes,  bercampur dengan warna asli pupilnya.

"Oi, ini………."

"Ahh, aku mendengar apa yang kau katakan, tapi situasi ini sedikit bermasalah."

Kido berkata dengan cara seperti mengingat sesuatu yang sangat buruk.

Bergantinya warna pupil bocah itu, ini pasti ciri-ciri ketika Kido dan lainnya menggunakan “semacam kekuatan.”



Mungkin apa yang dikatakan Kido barusan “bahkan dokter dan polisi takkan berguna” adalah karena ini. Memang benar dihadapkan dengan gejala yang sangat ane seperti ini, kupikir kedua belah pihak tersebut tidak akan mudah mempercayainya.

"Terus, kita harus apa sekarang….. Apakah bocah ini baik-baik saja!?"

"Saat ini kita masih tak tahu apa kekuatan milik anak ini.... Jika kita membiarkannya pulang akan menjadi berbahaya. Kita harus membawanya ke markas terlebih dahulu."

Tangan Kido dengan kuat memegang pinggang Hibiya, dan menggendongnya hati-hati dengan kepala Hibiya pada bahunya.

"Baiklah, Kisaragi.  Kau telpon Kano untuk mengosongkan tempat tidur. Ahh, dan akan merepotkan jika Marry ketakutan, suruh dia tetap berada di dalam kamar dengan Seto."

Kata Kido pada Momo, Momo yang duduk di atas tanah langsung berdiri, dan memberikan pose hormat.

"B-Baiklah! Dimengerti!"

"Haha…. kau terlalu kaku"

Kido memberikan ekspresi pusing, kemudian memberikan senyum yang langka. Matanya selalu menatap dengan tajam, tapi ketika ia tersenyum rasanya sungguh hangat, dan menunjukkan sifat keibuannya.

"Oh, ya. Siapa namamu?"

Menggendong Hbiya, Kido teringat sesuatu dan berbalik ke arah Konoha.

"A-Aku? ……. Konoha. Itu namaku. Kurasa"

Mungkin ia tidak mengerti, tapi seperti biasa pemuda itu menggunakan intonasi yang sangat lambat, dan mengenalkan diri dengan tidak karuan.

Ketika pemuda itu menyebutkan namanya, ponsel yang kupegang mulai bergetar lagi, dan ketika aku melihat ke arahnya Ene terlihat marah lagi dan menginjak-injak dengan kakinya.

"Begitu ya, Konoha. Dari yang kudengat tadi, mengenai "insiden" yang terjadi antara kalian berdua, kurasa kita bis membantu untuk itu. Lagipula, kita akan membawa anak ini sebelum ia dalam maslaha. Kau hanya perlu mendengarku, kau ingin ikut dengan kami?"

Saat Kido mengatakannya, Konoha membuat wajah serius yang tidak pernah terlihat, dan menganggukkan kepalanya.

"Begitu ya huh. Baiklah, ayo pergi…. tapi aku sedikit lapar sekarang. Haruskah aku menyuruh Kano menyiapkan makan malam….. Hei, Kisaragi. Apakah kau menghubungi Kano?"

"Tidak, aku tak bisa menelpon Kano jadi sekarang aku menelpon Seto….. Ah! Halo, ini Momo!"

Kurasa Seto mengangkat telepon, meskipun ia tak bisa melihat sisi lain, Momo masih berdiri tegak dan berbicara.

"Maaf, ada sesuatu yang terjadi di sini. Akan ada pasien yang di bawah ke markas, jadi kupikir Kano bisa mengosongkan tempat tidur…… eh? Dia tak ada? Uhm….. Oke aku mengerti! Ah, selain itu siapkan makan malam…….. dan juga setelah itu tolong tetaplah di dalam kamar bersama Marry! Kalau begitu dah!"

Pada bagian akhir, nada bicaranya menjadi cepat, ia bahkan memberitahu Seto dengan baik sekali.

Setelah menutup telelon, Momo bernafas lega seolah ia berhasil menjalankan suatu strategi.

"Maaf karena menyusahkanmu Momo. Dan, memangnya kemana Kano pergi?"

"Ah, ya. Dia meninggalkan pesan ‘Aku takkan pulang malam ini’ dan kemudian hanya pergi."

"Haa……. Dia itu benar-benar tak berguna ketika saat segenting ini terjadi…."

Mengingat bahwa Ene mengatakan hal yang sama barusan, hatiku mendadak jadi terasa kaku.

Berbicara soal itu Kano pergi ke suatu tempat di waktu seperti ini. Aku ingin tahu ke mana ia. Adapun sikapnya, ia mungkin mempunyai banyak teman. Jadi ia pergi semalama dengan temannya huh. Sialan…….. ia bahkan lebih muda dariku…..

"Baiklah ayo pergi. Dari sini mungkin tak terlalu jauh, kita akan cepat-cepat."

Mata Kido berwarna merah lagi. Kupikir Kido menggunakannya karena Momo.

Aku masih tidak mengerti kekuatannya, tapi dengan kekuatannya takkan ada yang bisa melihat kami sekarang, sedikit tidak bisa dipercaya.


"Uhm, Master"

Melewati pintu masuk,  semua orang melangkah maju dan mengikut Kido dari dekat, mendadak getaran ponselku yang lebih tenang seperti biasa.

"Ah? Ada apa"

Melihat ke arah layar, Ene berbeda dibanding sebelumnya saat ia berdiri dan membuat ekspresi suram seperti ia sedang memikirkan sesuatu.

"Uhm….. itu, tak bisakah kita pulang lebih cepat? Bersama adik kecil. Aku hanya merasa, sedikit khawatir. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi……"

Jarang sekali, Ene mengatakan sesutu yang negatif saat ia dengan canggung mengeggam kaosnya dan mengerutkannya.

Biasanya ia akan berkata hal sepeti “Lompati atasnya! Master!” jika ada cincin api di depan, tapi ada sesuatu yang benar-benar salah padanya hari ini.

"Haa? Jika mengatakannya dari awal kalau kau bersalah. Hei aku memang benar-benar ingin pulang ke rumah…….."

"Ji-Jika begitu maka……!"

"Mm~hmm aku sedikit khawatir dengan kasus bocah itu, dan Momo tampaknya tak mau pulang ke rumah juga. Lagipula kurasa kalau Ketua akan dengan mudah membiarkanku pulang."

"Be-Begitu…….."

Ene terlihat tak berdaya dan depresi. Saat aku coba memikirkan apa yang ia katakan, aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

"Ah, jangan bilang kalau kau…!"

"Eh eh eh??!!  Tidak! Tentu saja tidak!! Ene tetaplah Ene oke?! Aku tak seperti yang kaupikirkan! Master kau sungguh benar-benar menjijikan……."

"Kau khawatir kalau akan kehabisan baterai?"

"………Huh?"

Ene mengatakan banyak hal aneh, tapi ketika aku menanyainya ia hanya membuka mulutnya tanpa mengatakan apapun, dan tercengang.

Kemudian berubah menjadi senyuman, dan dia dengan canggung mengibaskan tangannya

"……..Ah, ah~ isi baterai, ya begitulah~! Ketika baterai sedang kritis aku akan menjadi lelah dan mudah frustasi!"

"Uhuh! Sudah kuduga! Hei aku akan mengisi baterai ketika kita kembali ke markas, bergembiralah oke."

Jadi masalahnya ada isi baterai huh. Mungkin karena terlalu banyak dihabiskan saat di taman hiburan, layar menunjukkan daya baterai telah berkurang banyak.

Aku tidak tahu seperti apa kondisi yang membuatnya aktif di dalam, tetapi jika semua tindakan anehnya bisa pulih setelah aku mengisi baterai, aku sedikit lega.

Jika aku tidak mempedulikannya dan hanya membiarkannya melakukan hal aneh, aku takkan tahan.

"Ahaha……. haa. Ngomong-ngomong kurasa Master…. sedikit berubah"

"Ah? Benarkah? Aku sendiri tak yakin….."

"Sepertinya kau terlihat bersenang-senang. Bukankah bagus, mempunyai teman"

"Haa? Mereka itu teman. Aku hanya merasa telah dilibatkan oleh mereka………"

Aku mengelak untuk menyebut mereka mereka bahkan kami hanya baru bertemu selama satu hari.

Namun itu benar, mereka bisa berteman dengan cukup baik.

Mereka membantu anak laki-laki normal, dan bahkan mencoba untuk memecahkan masalah yang dihadapi, untuk era sekarang mereka ini orang-orang yang sungguh sangat baik.

"Bukankah itu bagus. Master bahkan bisa berteman dengan orang-orang yang terlibat denganmu."

Ene memberikan senyum lembut tapi kesepian.

Mendadak, sebuah senyuman yang pernah kulihat sebelumnya mendadak mengambang dipikiranku. Sebuah senyuman yang pernah menghilang dariku. Juga sebuah senyuman yang selalu tersimpan di suatu tempat dalam otakku.

"Kurasa itu benar"

Bukannya aku ingin melupakannya, aku mengunci senyum itu di suatu tempat, di suatu tempat di mana aku senantiasa terkunci di dalamnya.

"Tentu saja begitu! Ah, ngomong-ngomong aku selalu berpikir kalau aku seorang gadis yang merepotkan, menurutmu? Kau tergila-gila denganku huh?"

"Tidak tidak, memangnya kau termasuk dalam kategori "GADIS" ?"

"EH EHHH?!!! Kau berlebihan Master!! Bukankah aku seorang gadis super!! Muda dan cantik 'kan!!"

Menghadapi Ene yang seperti biasa tak bisa berhenti berbicara, aku harus cepat-cepat untuk kembali, dan mengisi baterai untuknya, dan kupikir aku sedikit mempercepat langkahku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar