Jumat, 01 Agustus 2014

Volume 5 Chapter 8 : Night-Talk Deceive V




Pembicaraan Malam Menipu V

Note :
Clear-eyed Snakes : ular yang mempengaruhi Kenjirou, bedanya dengan ular lain, ular yang ini memiliki kepintaran.
Ular tersebut : dimaksudkan Clear-eyed Snakes

=================================================================

Malam hari semakin mendekat.

Di luar jendela, matahari terbenam perlahan ditelan oleh bangunan persegi dan menghilang dalam sekejap mata, hanya meninggalkan kilauan sekilas.

Rumah-rumah yang bermandikan cahaya oranye tersebut akhirnya mulai mengenakan garmen menjadi gelap karena malam tiba. Pada saat itu, tidak ada yang bisa mencegah datangnya malam hari.

Itu benar. Aturan dunia ini tidak pernah mempedulikan tentang perasaan pribadi.

Sebagaimana masalah tentu saja, waktu tidak akan berputar kembali, juga tidak akan maju lebih cepat. Tidak peduli siapa yang mati dan hidup, satu-satunya hal yang akan terus berputar pada kecepatan saat ini adalah dunia ini.

Menatap keluar jendela dengan bingung, kebenaran ini pun sangat alami dari dunia sekarang membuatku tersadar pada kenyataan terdalam.

Aku masih tetap berbaring, menggerakkan tatapanku dari jendela ke samping.

Rak buku memasuki area penglihatanku; di atasnya yang berjajar rapi merupakan cerita pahlawan yang aku belum pernah sentuh cukup lama.

Kupikir tokoh utama melakukan perbuatan gagah berani mereka dalam cerita-cerita. Kapan terakhir kalinya kami telah bermain pahlawan?

Dan kapan terakhir kalinya kami berkeliling berpura-pura untuk menjadi bagian dari organisasi rahasia?

Semakin aku melihat ke belakang, semakin aku sadari betapa banyak hal yang telah terjadi dalam beberapa tahun

Meskipun kami sudah berpikir untuk pergi ke sekolah, kami masih tidak bisa beradaptasi dan akhirnya semuanya sia-sia saja. Pada saat itu, kami bertiga menangis sepanjang malam karena frustrasi.

Kami sangat menyesal, telah menyia-nyiakan alat tulis, buku pelajaran seragam sekolah yang Ibu dan Ayah belikan untuk kami.

Itu benar-benar mengecewakan. Meskipun mereka telah mengatakan “Berusahalah!”, kami tidak bisa membalasnya dengan usaha kami.

Hal itu juga sekitar waktu itu ketika Seto tidak bisa lagi menahan kekuatannya, dan ingin meninggalkan kota.

Karena dia mendadak berlari, dan tidak kembali setelah sore hari, kami semua khawatir sesuatu telah terjadi padanya

Tentu saja, kami semua pergi mencarinya, tapi terus terang saja, bagian tersulit adalah saat berusaha untuk menghibur Kakak, yang menangis saat di tengahpencarian.

Seto pulang kembali keesokan harinya, dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Aku bertemu dengan seorang perempuan manis.” - Pada saat itu, aku merasa lebih terkejut daripada marah.

Bisa ditebak dia dihajar oleh Kido kemudian hari, tapi sejak saat itu, mengejutkannya, kekuatan Seto sendiri jadi jarang aktif.

Itu mungkin berkat “perempuan manis” yang ia temui di hutan di suatu tempat, Kurasa.

Tampaknya mereka berhubungan baik baru-baru ini juga, tapi dia masih tidak mau memperkenalkannya kepada kami, yang membuatnya tampak seperti mungkin ada beberapa situasi tertentu dibaliknya.

Kido, juga, telah menjadi lebih lunak dibandingkan sebelumnya, dan entah sejak kapan, kekuatannya juga telah di bawah kendali.

Meskipun dia berkata “Aku sudah menguasainya” dengan bangga, agak menyusahkan bagi Kido untuk dapat muncul dan menghilang sesuka hati.

Aku ingat jantungku hampir berhenti ketika aku sedang membicarakan tentang… hal-hal tertentu… dengan Seto, dan suara tanpa tubuh perempuan itu tiba-tiba bertanya “Apa maksudnya?” dari sebelah kami.

Omong-omong, “masalah merendahkan diri” yang menyebabkan konflik antara Seto dan Kido begitu sering juga telah berakhir dengan usaha keras dari pihak Seto.

Pada akhirnya, tampaknya alasan Kido tidak suka berbicara sopan adalah karena keluarganya sebelumnya telah seringkali melarangnya berbicara seperti itu, jadi kebijakannya menjadi “Teman tidak harus terlalu sopan satu sama lain.”

Setelah Kido telah menjelaskannya Seto akhirnya mulai berusaha lebih keras untuk menyingkirkan kebiasaan berbicararnya. Untuk beberapa alasan, dia malah menerapkan cara bicara yang lebih aneh.*

Baru-baru ini, aku terbiasa dengan cara berbicara anehnya, tapi itu tidak memberikanku suatu perasaan sedih.

Bagaimanapun, itu sudah cukup bagi hubungan Seto dan Kido untuk membaik dibandingkan sebelumnya, bukan?

Keduanya ingin berubah, dan mereka melakukannya.

Ada kemungkinan… satu-satunya yang tidak berubah, atau bahkan tidak pernah memikirkan untuk berubah… adalah aku, berbaring santai di tengah ruangan.

Sebelumnya, aku juga telah melakukan hal ini, duduk di sebuah ruangan, tidak melakukan apapun sepanjang hari, hanya berpikir tentang berbagai hal.

Saat Ibu… Tidak, saat “Ibu kandungku” mati.

Pada saat itu, aku berpikir aku hanya akan menjalani sisa hidupku seperti aku selalu terperangkap dalam air yang hangat.

Aku bahkan tidak pernah berpikir tentang sesuatu seperti “kebahagiaan.”

Tapi kemudian, apa yang terjadi?

Aku disayangi oleh orang tua baruku, disayang oleh kakakku, dan aku menghabiskan setiap hari setelah itu dengan senyuman.

Hampir tidak bisa dipercaya. Setelah semua usahaku, dunia telah mengatakan “berbahagialah” padaku.

Sampai sebulan yang lalu.

Sampai saat itu di mana “ibu yang telah mengadopsiku,” Ayaka-san, telah mati. Sejak itu, aku benar-benar bodoh percaya pada ide seperti itu.

"……Mengapa bernasib seperti ini?" Aku tidak bisa berhenti untuk mengeluh.

Aku sudah mengeluh seperti ini begitu lama, jika dunia ini memiliki telinga.

…Tidak, Aku tidak akan. Jika dunia memiliki telinga, aku tidak akan mengeluh.Aku mungkin sudah menghancurkan tersebut menjadi debu.

Jika dunia ini mampu “berpikir,” aku mungkin telah menarik keluar otaknya dan menginjaknya sekarang.

Semakin aku memikirkannya, aku semakin marah, seolah-olah aku baru saja akan menyemburkan api pada saat itu.

Apa yang kami lakukan salah?

Kami menerima segala sesuatu yang dunia ini telah berikan, menahan air mata kami terhadap ketidakadilan, menelan keluhan kami yang 

menentang ketidak masuk akalan tersebut, dan ketika kami pikir kami akhirnya telah mendapatkan kebahagiaan kami… Kenapa yang menunggu kami adalah hasil seperti ini.

Mengapa segala sesuatu diambil begitu mudah?

Apakah entitas bernama “dunia” bahkan tidak mengizinkan kami merasakan sedikit kebahagiaan kecil ini?

Siapa…? Siapa orang yang telah menciptakan dunia mengerikan ini…?

"…Apa yang membuatmu depresi?"

Aku terkejut karena suara tiba-tiba itu, dan menatap untuk melihat Kido dengan pakaian olahraga, menunduk ke arahku.

Rambutnya yang dulu berantakan dan pendek sekarang telah mencapai bahunya, memberikannya tampilan yang lebih feminim, tapi bahkan 

sekarang, ekspresinya tetap sedingin dulu.

"K-Kau sejak kapan di sini?"

Sudah berapa lama dia telah menatapku? Terutama dengan kekuatan Kido, aku tidak bisa benar-benar yakin.

"Ada apa? Kau nampak tak bersemangat."

Meskipun dia masih tanpa ekspresi, tampaknya dia mencemaskanku.

Saat aku menyadarinya, aku buru-buru memasang “senyum” pada wajahku.

"Tidak, sama sekali tidak! Aku tak depresi sama sekali? Ini lebih seperti aku super energik sekarang dan~ Ah, kau khawatir karena aku tertidur sendiri? Kido kau begitu~ lucu… Ouch!"

Aku berkata sambil tersenyum nakal, tapi tiba-tiba dipukul dengan kepalan tangannya Kido.

"…Aku tahu kau menangis. Pembohong."

Kata-kata Kido menyadarkanku.

“Senyum” yang telah kupasang telah terlepas, rasa sakit telah membatalkan kemampuan menipuku.

"Uu…"

Bagaimana sebenarnya ekspresiku di balik topeng tersenyum ini?

Tanpa diduga dapat diketaui, aku otomatis menundukkan kepala.

"T-Tidak, bukan begitu! Aku tak menangis! Tidak mungkin, maksudku…"

Untuk berpikir bahwa rasa sakit yang sangat kecil seperti ini akan dapat membatalkan kemampuanku… kekuatan ini benar-benar sangat tidak berguna ketika aku membutuhkannya.

Bahkan jika aku mencoba untuk menghapus air mataku diam-diam, itu hanya akan menjadi tidak berarti. Ini tidak akan mengubah fakta bahwa ekspresi depresi sudah dilihat.

"Bodoh," Kido menghela nafas panjang, berjongkok di sebelahku.

"B-Bodoh…" Sementar aku tidak bisa memberikan respon, Kido berbicara dengan tegas.

"Kau tak perlu memaksakan dirimu. Itu tak baik."

Kido benar. Bertingkah seperti ini, yang aku lakukan adalah malah memberikan sebuah sinyal yang berbunyi “tolong khawatirkan aku.”

"……Maaf. Salahku."

Aku bisa memikirkan apapun untuk dikatakan pada diriku sendiri, jadi aku meminta maaf secara langsung.

Sepanjang bulan ini, Kido juga sedikit menderita. Bahkan, aku sering melihatnya menangis berkali-kali.

Dia tidak seharusnya untuk mengkhawatirkanku, tapi akhirnya aku membuatnya mengkhawatirkanku, aku benar-benar idiot.

"Yah, karena kau idiot, mau bagaimana lagi. Aku memaafkanmu."

Kido berkata sambil cembertu, tapi kata-katanya membuatku sedikit nyaman.

"Lagipula, aku akan terus memukulimu di masa depan."

…Dan kemudian kegelisahan itu kembali. Aku benar-benar tidak akan hidup panjang, 'kan?

"Ahaha… Oh ya, kenapa kau kemari? Apa kau butuh bantuanku?"

"Oh, ya. Kakak bilang sudah waktunya makan malam. Ayah dan Seto sudah menunggu." Kata Kido sambil menunjuk ke arah pintu.

"Huh, semuanya sudah pulang!? Uwah, maaf, aku akan ke sana!"

Kataku sambil bergegas berdiri. Kido hanya menggerutu pelan, berdiri sambil bergumam “menyusahkan saja.”

Aku setuju dengan itu. Bahkan aku berpikir meskipun kata-kata Kido sangat kejam, tapi masih memberikan perasaan lembut.

Ah… Kesalahpahaman apa yang telah kulakukan dalam hidup ini? Aku masi dikelilingi oleh kebahagiaan.

Sekarang berbeda dari saat aku sendirian. Bukankah masih ada orang di sini, orang-orang yang memukulku dan bersikap baik padaku?

Aku hanya harus terus hidup. Aku harus menjadi bahagia.

Jika aku menjadi sedih, itu akan membuat keluargaku juga menjadi sedih.

…Itu benar. Bagaimana mungkin aku membiarkan dunia mengatur segalanya? Aku harus bertahan hidup, untuk terus hidup, dan tertawa di wajah ini dengan kebahagiaan.

"Makan malam hari ini apa ya~? Kuharap bukan sesuatu yang aneh lagi."

"Sudah cukup bagus. Meskipun agak bau aneh."

"B-Benarkah…? Aah, aku tak bisa mengeluh berhubung aku tak bisa memasak. Karena Kido begitu pandai memasak, itu akan lebih baik jika 

Kido memasak sekali-kali~ Ah, cuma bercanda…"

"Aku tidak menentangnya atau apa pun, tapi tak ada gunanya. Kakak bilang ia ingin membuatnya sendiri, dan bahkan tak mau mendengarkanku."

Saat kami bercakap-cakap, kami menuju ke meja makan di mana keluarga kami sedang menunggu.

…Dan seperti yang diharapkan, makan malam rasanya agak meragukan, tapi hari itu juga pertama kalinya setelah sekian lama aku berhasil 

tertawa bersama dengan anggota keluargaku.

***

Pada hari musim semi aku datang ke sebuah taman kecil di dekat rumah. Pagi ini, kakak memintaku datang untuk membicarakan sesuatu denganku.

Aku memilih ayunan di antara perangkat permainan yang tersebar dan duduk di atasnya, mengangkat kepalaku untuk menatap di langit tanpa tujuan.

Yah, aku sudah terbiasa tiba-tiba mengatakan hal aneh seperti ini. Tidak… faktanya, itu lebih melegakan bahwa dia akan memberitahuku apa yang dia ingin aku lakukan.

Begitu dia mengatakan “mari kita lakukan sesuatu yang menarik,” dan kami akhirnya keluar di tengah malam untuk mencari dan menangkap serangga.

Dibandingkan dengan kejadian itu, “berbicara di taman” tampaknya seperti tugas yang jauh lebih mudah. Tentu saja, mengingat bahwa itu hanya berbicara, dan tak lebih.

Tapi… mengapa sebegitu pentingnya dia sampai meneleponku untuk ke taman? Hal itu pasti sesuatu yang tidak bisa dibicarakan di mana saja.

Omong-omong, ia tampaknya merasa sedih sepanjang waktu akhir-akhir ini.

Biasanya, kakakku adalah seseorang yang bisa dibilang ceria dengan modal C. Jika ada sesuatu yang mungkin membuatnya menjadi sedih, alasannya mungkin apa yang ingin dia diskusikan denganku.

Tampaknya  beban tugasnya sudah jauh lebih sulit setelah dia masuk SMA. Mungkin itu…?

…Tidak. Jika itu tugas sekolah, tidak gunanya membicarakan tentang itu denganku. Ayah akan jauh lebih berguna untuk hal semacam itu.

Itu harus sesuatu yang terkait dengan SMA. Misalnya…

"…Percintaan…?"

Bahkan saat aku mengatakan itu, aku merasa diriku menjadi gelisah.

Tidak, tidak, itu mustahil untuk seseorng sepertinya. Lagipula, kakak hampir dibilang dibesarkan oleh Shonen manga dan cerita pahlawan tokusatsu. Dia tidak akan pernah memiliki selera untuk sesuatu yang seperti shoujo. Tidak, mustahil. Itu benar. Benar-benar tak terpikirkan…

"Mungkinkah!?"

Aku mendadak berdiri dari ayunan, menyebabkan kursi dan rantai berderit keras.

Tidak, maksudku, itu pilihan kakak untuk melakukan apa yang ia inginkan, dan aku tahu tidak memiliki hak untuk menganggu apa yan ia inginkan… Tapi, jika dia benar-benar menyukai seseorang… Apa yang harus dilakukan?

Dan terlebih lagi, bagaimana jika orang itu adalah seorang cowok aneh dengan motif meragukan?

…Di sana akan terjadi pertumpahan darah.

Tidak diragukan lagi, seluruh keluarga akan pergi dan memukulinya sampai jadi bubur

Terutama, jika ayah tahu, adegan yang terbayangkan di kepalaku hanya dapat digambarkan sebagai “neraka.”

Mungkin, setelah Ayah selesai berurusan dengannya, tidak akan ada jejak keberadaannya di dunia ini. Tentu saja, aku akan membantu juga.

Tapi kemudian…

Jika kakak sungguh sedang menyukai seseorang, dan ingin membicarakannya kepada seseorang...

Jika dia bicara dengan Seto, dia pasti hanya tersipu dan bicara gagap dan jadi tak membantu. Kido mungkin tidak akan tahu apa yang harus dikatakan.

Ayah pasti tidak mungkin, yang berarti dari anggota keluarganya…

"…Kurasa dia menyerahkannya padaku. Hmm…"

Meski pikiran itu terpikirkan secara acak di kepalaku, sekarang rasanya seperti nyata.

Dikatakan bahwa cewek-cewek SMA biasanya memiliki satu atau dua pacar atau sesuatu seperti itu… Tidak, tunggu, tidak peduli ini cuma bercandaan. Satu atau dua? Aku tidak akan mengizinkannya.

Tapi tidak peduli apa, itu tak bisa dipungkiri; jika kakak tiba-tiba datang dan berkata “Aku jatuh cinta~”, aku tidak akan sangat terkejut.

Omong-omong, sebelumnya dia bilang bahwa dia memiliki teman yang sangat baik.

Jika aku ingat benar, tahun lalu temannya juga datang ke festival budaya ke shooting gallery aneh.

Selain itu, mereka berdua nampaknya berada di kelas yang sama sejak masuk SMA.

Yang berarti…

"…Jadi laki-laki itu, huh?"

Meskipun ia hanya kuanggap musuh imajiner bagi diriku, aku masih merasa pandangan menjadi sempit jika membahasnya.

Jika dia berani menyentuh Kakak, aku akan…

"Maaf~ karena terlambat~"

Disertai dengan suara bersemangat, kakakku berlari dengan tampilan mengenakan seragam musim dinginnya. Dan masih mengenakan scarf yang sering dikenakannya melilit di lehernya, dia menjadi anak SMA tanpa kami sadari.

Aku sementara waktu mengunci dugaanku terdahulu ke kedalam pikiranku, dan menjawabnya.

"Ada apa, Kak? Tidak usah buru-buru"

"Nah~ Aku hanya tak merasa enak membuatmu menunggu lama!"

Dia tersipu malu, dan tertawa pelan.

Meskipun kepolosannya belum berubah selama bertahun-tahun, dia sudah jauh lebih matang setelah memasuki SMA. Mungkin sulit untuk mengatakan ini tentang keluargaku, tapi aku berpikir seorang perempuan baik sepertinya sulit didapatkan.

"Oh ya, maaf karena tiba-tiba memanggilmu keluar~"

"Tak apa kok~ Lagipula, kau selalu seperti ini. Terus, ada apa nih?"

"Ah, um. Er…"

Meskipun aku bertanya, tampaknya ia tidak ingin menjawabnya. Aku menunggu dengan sabar, tapi dia tidak kunjung mulai bicara, sebaliknya dia malah tampak sedikit sedih.

"A-Ada apa sih?"

"Eh tidak, hanya saja… agak sulit mengatakannya. Aku harus mulai dari mana~?"

Meskipun ia mencoba untuk menutupinya, begitu terang-terangan ada sesuatu yang yang sangat menganggunya mengenai materi pelajaran.

Skenario yang telah mengambang di pikiranku sebelumnya mulai terkuak sekali lagi.

"A-Apakah itu sesuatu yang serius…?"

Aku gelisah ingin tahu apakah itu benar-benar akan menjadi masalah percintaan, tapi kakak akhirnya menguatkan ketetapan hatinya, perlahan mulai berbicara.

"……Bukan, I… Ini soal… Ibu… dan alasan kematiannya."

"Huh?"

Dihadapkan dengan topik yang sama sekali berbeda dari apa yang aku telah pikirkan, aku mengeluarkan suara terkejut secara sukarela.

"Kau tahu 'kan, mereka mengatakan Ibu tewas karena tertimpa batu longsor?" Kakak menunduk saat dia berbicara.

Ibu baruku… Mbak Ayaka… dia adalah seorang arkeolog yang mempelajari berbagai kebudayaan.

Karena pekerjaan itu membuatnya jarang berada di rumah, dan biasanya menjelajahi seluruh penjuru tempat.

Bahkan pada hari itu, dia dan Ayah pergi keluar bersama…



"Mereka pergi untuk melakukan semacam penyelidikan pada hari itu, 'kan? Atau itu apa yang kudengar…"

"Mm, kau benar… Ah, kau ingin duduk? Aku tak terlalu biasa mengenakan sepatu ini." Kata Kakak, perlahan menekan bagian ujung sepatu sekolahnya bersamaan.

Kami duduk bersama di bangku taman di dekatnya saat ia terus berbicara.

"Ini…" katanya, mengeluarkan sebuah notebook dari tasnya.

Tidak tampak tua, tapi, mungkin karena itu telah diisi, pinggirannya jadi sedikit kusut.

Di bagian depan, ditulis dengan tulisan tangan yang rapi Catatan Penyelidikan Mengenai ‘Monster’.

"Apa maksudnya dengan ‘monster?’ …Omong-omong, ini milik Ibu? Maka mengapa…"

Kuulurkan tangan untuk mengambilnya, tapi Kakak tiba-tiba menarik notebook ke arah dirinya.

"Uwah…! A-Apa? Aku tak boleh lihat?"

"T-Tunggu sebentar! Aku… maaf…"

Kakak memeluk notebook itu dadanya. Perlahan menatap, dia sedikit gemetar, dan air mata di tepi matanya. Tidak peduli bagaimana kau melihatnya, ada sesuatu yang salah.

"Apa yang terjadi? Kau tak enak badan…?"

Aku mengusap punggungnya, tapi ia hanya terus bergumam minta maaf dengan lemah.

"Tidak aku… Aku hanya… Aku merasa sedikit takut…"

Pikiranku berputar-putar dalam keadaan linglung karena sikap ragu-ragunya. Mungkinkah sesuatu yang sangat menakutkan tertulis dalam notebook itu?

Bahkan pada judulnya terdengar sedikit serius Mengenai ‘Monster,’ jadi… kemungkinan tampaknya memang menakutkan.

Kakak menarik nafas dalam-dalam, seolah untuk menenagkan dirinya, sebelum memulai sekali lagi.

"Maaf membuatmu cemas. Aku… ingin kau melihat apa ada di dalam notebook ini. …Tapi sebelum itu, Dengarkan aku dulu?"

Dia menatap langsung ke mataku saat berbicara, dan aku merasa tak goyah, bertekad mengetahui arti di balik tatapannya.

"Tentu saja! Aku akan mendengar apapun yang kau katakan."

Mendengar kata-kataku, dia bergumam berterimakasih dengan ekspresi sedih, sebelum memulai topik utama.

"Shuuya, apa kau ingat? Permainan organisasi rahasia yang kita gunakan bermain sewaktu kita kecil?"

"Aku ingat. Itu adalah saat kita berlari-larian dengan hoodie, 'kan? Seingatku namanya…"

"…’Mekakushi Dan’."

Sebelum aku dapat memikirkannya, nama nostalgia itu keluar dari bibir kakakku.

Itu benar. Setiap kali kami akan berpura-pura bermain saat itu, itu akan selalu “Organisasi Rahasia: Mekakushi Dan.”

"‘kekuatan mata’ mu adalah rahasia di antara kita berempat, 'kan? Sebuah organisasi yang meyembunyikan mata itu… Sekarang aku memikirkannya, nama itu sedikit memalukan." Dia terlihat sedikit gugup.

Mungkin itu benar. Tidak pedul bagaimana kau memotongnya, itu tidak dapat dianggap sebagai nama keren.

…Tapi… Aku suka nama itu.

Aku tidak pernah berpikir seperti itu sampai sekarang, namun melalui permainan, melalui pembentukan “organisasi rahasia,” kakakku ingin membantu kami menyembunyikan “mata” kami yang menjadi sumber dari begitu banyak ketakutan dan kebencian dari orang-orang di sekitar kami.

Menyebut dirinya ketua, memberi kami hoodie yang dapat menyembunyikan “mata” kami, menolong kami tersenyum… semua itu yang dia lakukan.

Tapi kemudian, mengapa dia akan membicarakannya sekarang? Aku masih tidak bisa melihat arti utama diskusi ini.

"Mengapa kita berbicara tentang hal ini? Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang kau ingin bicarakan denganku?"

"……Mm-hm."

Dia mengambil nafas dalam-dalam lagi, perlahan mulai.

"Ibu… dia tahu tentang ‘kekuatan mata’ dari sejak awal. Dia bahkan tahu berapa banyak masalah kekuataan yang telah diberikan kepada kalian semua."

"Huh!? K-Kau serius? Kita berusaha keras untuk menyembunyikannya! Jadi itulah mereka tak mengusir kami…!"

"Aku tahu, aku tahu. Tapi… sebenarnya Ibu ingin menyelamatkan semua orang dari ‘kekuatan para ular’… Aku… Aku bahkan tak tahu…"

Air mata mulai bergulir ke pipinya saat ia berbicara, menghiasi tanah kering. Dia tidak menyeka air matanya, hanya menggenggam notebook itu erat ke dadanya, dan terisak.

"Hal-hal yang terjadi begitu mengerikan… Apa yang harus kulakukan… kalian semua mungkin akan mati…!"

Aku... benar-benar tak berdaya.

Ak tidak bisa mengatakan apapun, bahkan untuk isakan kakakku.

Aku bahkan tidak bisa memahami kebenaran tiba-tiba yang ada di depan mataku.

Itu benar. Aku tidak tahu apapun sama sekali.

Entitas menyedihkan yang disebut “monster,” “kutukan" yang berada dalam tubuh kami, dalam Ayah…

Dari saat itu, sedikit “kebahagiaan” terakhir yang mengelilingi kami mulai ambruk putus asa.



***

"…Tampaknya ‘Ular Clear-eyed' mempengaruhi Ayah untuk mengabulkan harapannya.”

"Harapannya…"

"Itu benar. Ayah berharap ‘ingin untuk bertemu Ibu lagi’."

"I-Itu bisa dilakukan?"

"Jika monster dapat diciptakan di ‘dunia ini,’ itu mungkin saja. Kita akan mampu bertemu dengan orang-orang yang ditelan oleh ‘dunia lain itu’…"

"Bukankah itu bagus? Kita harus membantunya juga…!"

"Tidak!!"

"Huh…?"

"…Guna menciptakan monster itu, semua ular yang ada harus dikumpulkan ‘sebagai pengganti nyawa’. Untuk mengumpulkan ular, mereka harus bergabung menjadi satu… Itu artinya…"

"Itu artinya kami…?"

"Aku… Aku juga ingin bertemu Ibu lagi… Tapi, jika itu berarti semuanya akan mati, maka itu tak ada gunanya…!"

"Kak…"

"…Karena Ibu… memikirkan semua orang hingga akhir. Aku tak bisa membiarkan sipapaun mati…!"



"Seniormu… maksudmu mereka?"

"Ya, Shuuya, kau sudah bertemu mereka di sekolah, 'kan? Takane dan Haruka. …Ular tersebut ingin ular yang tersisa untuk mengambil tubuh mereka. Mungkin, dia ingin mereka juga ditelah oleh dunia lain itu."

"Bukankah itu pembunuhan!? …K-Kalau begitu, polisi takkan membiarkan itu, iya 'kan?"

"Selama itu kau pergilah ke SMA untuk menggantikanku, aku sudah menyelidikinya. Ular tersebut menggunakan tubuh Ayah untuk melakukan berbagai hal mengerikan… dan selain itu, dia memiliki jumlah dana yang banyak. Bahkan rumah sakit, sekolah, polisi… dan bahkan penjahat, mereka semua membantu ular tersebut…"

"B-Bagaimana bisa…"

"Neh, Shuuya… Aku berpikir, Aku akan mencoba untuk berbicara dengan ular tersebut. Mungkin, tidak ada cara lain…"

"Huh!? Jangan, tak mungkin kita bisa! Orang itu terdengar seperti seseorang yang akan membunuh siapa pun yang diinginkan!? Dia takkan bersedia bernegosiasi dengan kita…!"

"Begitu? Tapi kau tahu 'kan, karena aku bodoh, mungkin dia akan lengah dan bersedia untuk berbicara denganku?"

"Jangan bercanda seperti itu! Bahkan jika kau pergi, kami akan……"

"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja, kita akan selalu~ bersama, ya 'kan? Jangan menangis, oke?"

"Aku tidak… Aku tidak mau… dunia di mana kau tak ada…!"

"Aku bilang tak apa-apa, Shuuya. Jangan lupa, aku adalah ketua dari Mekakushi Dan! Musuh semacam itu bukant tandinganku sama sekali! 

Jadi, Shuuya… Jangan benci dunia ini, oke? Aku yakin… semuanya akan bisa menjadi bahagia.”



"Kak, jangan!!"

Aku mendorong membuka pintu, berlari keluar.

Rambut hitam kakak perempuanku menari dikepul angin malam saat dia berdiri di pinggir atap.

Siluetnya yang dibingkai dengan pancaran oranye terang, hampir nyata, seolah dia akan terhisap ke udara.

"Shuuya…!"

Dia menyebut namaku, terlihat ketakutan di wajahnya.

"J-Jangan mengatakan hal aneh seperti itu… Kau berjanji kalau… Bukankah kau berjanji kita semua akan terus bersama?!"

Mendengar kata-kataku, ekspresinya berubah menjadi rasa bersalah, tapi dia tidak mengangguk.

"…Aku tahu rencana ini takkan berhasil… tak ada artinya jika diteruskan. Untuk seniorku, keluargaku… tak ada artinya jika mereka semua terbunuh, iya 'kan?" 

Dia berkata, berpaling ke atas langit, diterangi cahaya matahari terbakar yang terbenam.

Jika dia melangkah satu langkah lagi, tubuhnya pasti akan jatuh menghanta tanah dengan keras.

"Hentikan! Kak!!"

Aku berteriak dengan sekuat tenaga, tapi kakakku tidak berbalik, bahkan tidak melihat ke belakang.

"Ini… ini akan menarik siapapun yang mati ke dalamnya, 'kan?"

Saat suaranya jatuh dalam keheningan, sesuatu seperti sebuah kabut berwarna hitam yang besar tampak berkilau di hadapan tatapannya.

Aku pernah melihatnya sebelumnya. Itu adalah “keputuasaan” terbesar di dunia ini.

Aku merasa seperti aku akan gila pada saat ini.

Aku berdoa dari lubuk hati terdalamku agar detik berikutnya tidak akan pernah terjadi. Aku memohon kepada dunia yang hina ini untuk menghentikannya.

Siapapun, kumohon, selamatkan kami. Selamatkan Kakak, dan selamatkan aku.

"Maaf ya, Shuuya. Pada akhirnya, aku tak bisa sama sekali. Aku sedikit… takut…"

Dia berkata dengan air mata di matanya.

Bahkan jika aku berlari sekarang, aku tidak akan berhasil.

Tubuh kakakku yang tak berdaya terangkat dari udara, dan dia menghilang dari penglihatanku, sesuatu dalam pikiranku hancur dengan letusan keras.

“……Heh, aku tak pernah mengira akan jadi seperti ini. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa… Aku benar-benar terkejut.”

“……Aku akan membunuhmu.”

“Hei, sekarang kau sudah tahu semuanya, 'kan? Bahwa aku yang membuat ayahmu tetap hidup. Jadi mari kita tidak berbicara tentang membunuh atau yang lainnya. …Oh ya, meskipun, tampaknya rencananya gagal, berkat gadis itu. Jika semua ular tak dapat dikumpulkan, Aku takkan mampu membawa istrinya kembali. Bagaimana ini…”

“Kalau begitu jangan lakukan apapun…! Setidaknya… kembalikan Ayah kami…!”

“Bodoh. Jika rencana ini gagal, aku selalu bisa memulai kembali. Dari awal. …Ah ya, kau, pergilah berpura-pura menjadi ‘mayatnya’? Kau bagus pada hal semacam itu, ya 'kan? Pastikan seseorang menemukanmu. Aku tak peduli siapa itu, siapa pun yang memiliki hubungan denganku dan menganggapnya telah bunuh diri. Selain itu, akan merepotkan jika ia dianggap menghilang.”

“…Apa yang kau… bicarakan…?!”

“Jangan salah paham. Kau, keluargamu… kalian semua masih hidup karena aku membiarkannya. Kecuali kau ingin melihat keluargamu terbaring mati dalam genangan darah mereka sendiri? Kau tak mau, 'kan?”

“Uu… Aku…”

“Kekuatanmu sedikit cukup berguna. Selama kau mendengarkanku, aku takkan melakukan hal buruk padamu. …Tapi dengar baik-baik. Tak peduli apa yang kau lakukan, takdir takkan berubah. Kecuali jika kau ingin keluargamu dibantai, kau sebaiknya berhati-hati.”

“Sialan… sialan!”

“Hidup kalian semua ada di telapak tanganku. Jangan lupakan itu, bocah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar