Minggu, 13 Juli 2014

Volume 2 Chapter 1 : Headphone Actor I


Aktor Headphone I

Hanya aku dan bayanganku yang masih berdiri pada saat matahari terbenam.

Sebelumnya, aku bisa mendengar musik yang disiarkan oleh radio dari headphone yang melingkar di leherku.
Tapi sekarang, aku mendengar suara, sesuatu yang menyerupai suara seseorang. 
Suasana yang terasa sangat berbeda, jadi aku memakai headphone-ku, penasaran.

Secara bertahap mulai berselang suara yang membentuk kata-kata.
Sepertinya sebuah berita wawancara dari presiden suatu negara.
Rasanya seperti pertunjukan, dengan suara berlebihan, dan terjemahan simultan yang tertunda.
Ada cukup banyak kebisingan tercampur, tapi entah mengapa aku bisa tahu beberapa bagian saja. 
“……ini hal yang sangat……disayangkan……tapi……hari ini……dunia akan segera…….berakhir”

Sekali kalimat tersebut dikatakan aku bisa mendengar banyak teriakan dan penghitungan dari kata-kataku tak bisa dimengerti.
Bahkan jika aku melepaskan headphone-ku, kekacauan yang ditampilkan jelas begitu sakit.
Di luar jendela bernoda merah, bulan sabit mengapung di langit ungu, dikaburkan oleh begitu banyak burung; sudah hampir seperti gerombolan semut hitam.
Melepaskan headphone-ku, aku kembali ke ruanganku, dan melirik di sekitarku; setengah menyelesaikan gameku dan tumpukan buku pelajaran mencerminkan matahari terbenam, bersinar oranye.

Aku bertanya apa yang aku lakukan hingga sekarang.
Aku sedikit merasa samar-samar bahwa aku sedang berbicara dengan seseorang beberapa waktu yang lalu, tapi aku tak dapat mengingat apapun lagi.

“……Hal ini pasti hanya semacam lelucon”

Bisikku, aku berupaya untuk menyakinkan diriku; kemudia aku membuka salah satu lapisan jendela koridor. Setelah aku melakukannya, aku mendengar suara sirene keras yang tak pernah kudengar, bersama dengan suara tangis orang-orang.

Suara yang perlahan-lahan makin keras dan bertambah keras, melanda seluruh kota.

Bibirku gemetar, gigiku berceloteh. 
Aku sendirian.

Tak ada satu orangpun di sini lagi.
Dan segera, aku juga tak akan ada lagi.
Detak jantungku menjadi cepat, dan air mataku turun ke pipiku. 
——————Aku benci menjadi sendirian, sendirian sangat menakutkan. 
Jadi aku dapat berlari dari dunia yang akan tertelan oleh pusaran keputusasaan, agar aku dapat memisahkan diriku, aku memakai headphone kedap suara sekali lagi.

Suara dari radio terhenti, dan aku tak bisa mendengar suara apa-apa sekarang.
“……Haruskah aku menyerah saja pada segala hal yang sudah terjadi……” 
Begitu aku bergumam, aku merasa seperti mendengar sesuatu.
Ketika aku mendengarnya dengan tenang, sepertinya suara itu secara khusus berbicara padaku.
——————Dan akhirnya, aku tersadar.
Suara itu, bukan lain adalah suaraku sendiri.

“Hei, bisakah kau mendengarku? Kau masih memiliki tempat yang ingin kau datangi, dan sesuatu yang ingin kau katakan, iyakan ?” 

Aku tidak bisa ingat apa hal-hal yang dimaksud. 
Tapi, karena suatu alasan, Aku merasa seperti aku mengerti maksud dari kalimat tersebut.

“Semuanya baik-baik saja, percaya padaku. Jika kau dapat mencapai bukit, kau akan mempelajari pentingnya ini, tapi jika kau tak ingin pergi. Jika kau tetap di sini, kau hanya akan menghilang. Hei——————“ 
Saat aku menyeka air mata yang terancam akan jatuh lagi, aku menarik nafas dalam-dalam. 
“Kau ingin selamat, bukan?” 
Hari itu, ketika dunia berakhir. 
Dengan suaraku sendiri sebagai penuntun, aku berlari dengan seluruh tenagaku di atas tanah yang bergetar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar