Kamis, 31 Juli 2014

Volume 5 Chapter 6 : Night-Talk Deceive IV




Pembicaraan Malam Menipu IV


Lampu redup oranye menerangi ruang kamar yang rapi.

Rapi merupakan kata yang bagus untuk menggambarkannya, tetapi sebenarnya, itu karena ruangan ini sangat jarang dihiasi

Sebuah televisi LCD kecil, meja kotak-kotak yang lebar. Sisanya adalah beberapa bantal di sekeliling meja dan buku anak-anak di rak. Ada juga laci berwarna-warni untuk menyimpan pakaian kami - keseluruhan, kamar ini tidak berperasaan dan sedemikian rupa metodis.

Kamar di ujung lantai pertama di sebuah bangunan tunggal - “Ruang 107”.

Duduk di ranjang yang agak kotor dari salah satu dari dua tempat tidur yang diletakkan di ruang kamar - tempat tidurku - dengan gelisah kami mengadakan pertemuan seperti biasanya.

Topik hari ini adalah - “Bagaimana bisa kami, disebut sebagai ‘monster’ oleh panti asuhan perawatan ini, padahal mereka bekerja untuk membersihkan nama kami?”

…Meski aku berkata “topik hari ini,” sebenarnya ini topik yang sama dengan kemarin, dan hari sebelumnya juga.

Tapi hari ini juga, tak satupun dari yang lain tampak memberikan tanda-tanda untuk berbicara, mereka juga tidak menanggapi pertanyaanku “jadi apa yang kalian berdua pikirkan?” Dalam sinar redup, keheningan membentang dalam beberapa menit.

"Ahh~ Serius deh, apa yang bisa kita lakukan~?"

Aku tidak bisa menahan diriku mengeluarkan kata-kata menyerah. Mendengarnya, 

Seto hanya mencengkram bantalnya dengan erat dan ditekan ke dadanya, tampak seolah-olah ia hendak mulai menangis.

"Ini semua salahku. Aku mminta maaf…"

"Tidak, ini bukan salahmu. Jangan berkata seperti itu. juga, jangan merendahkan dirimu."

Kata-kata merendah Seto langsung dihentikan oleh Kido, dan bahu Seto bergetar sekali sebagai tanda bahaya, berbisik meminta maaf, kemudian menyembunyikan wajahnya dengan bantal.

Seto selalu menangis dengan segera, hampir seolah jika dia adalah kombinasi dari bayi hewan dengan anak balita.

Dia menangis ketika dia terjatuh, ketika dia kelaparan, ketika hampir malam… dia akan selalu menangis tanpa alasan setiap saat. Itu adalah karakteristik paling mencolok dari Kousuke Seto, “Teman #2” ku yang aku temui saat di panti asuhan ini.

Meski aku secara pribadi merasa kami mungkin harus lebih lembut ketika berbicara pada Seto mengenai masalah ini, Kido sepertinya tidak begitu peduli.

Ber “hm” dengan dingin, Kido meraih Cat's Cradle di sampingnya, dan mulai untuk membangun Tokyo Tower dengan tali.

Aku merasa tidak akan berakhir dengan baik jika percakapan ini hanya dibiarkan seperti ini, dan aku bergegas menjadi penengah antara mereka.

"T-Tidak apa-apa, dan di samping itu, Maksud… Seto juga memikirkan berbagai hal dengan caranya sendiri…"

"……Um, maaf, aku tidak memikirkan apapun sama sekali."

Seto bergumam dengan wajah masih terbenam di bantal, dia benar-benar tidak mempedulikan upayaku berbicara untuknya.

Sebaliknya, Kido mendongak dengan ekspresi kesal, perlahan mengeluarkan rasa kesalnya dan dia menggerutu “Aku bilang jangan merendahkan dirimu. ” Seto tambah ketakutan, menutup mulutnya rapat-rapat. Dalam sekejap, keadaan kami kembali seperti awal tadi.

Aku menghela napas, dan bersandar pada tumpukan selimut di sampingku.

Ini mungkin hari yang tidak bagus. Pada saat semuanya bediskusi, kami hanya akan berakhir dengan semua terlelap tidur seperti biasa. Kesimpulannya itu cukup dalam sekali lihat.

Dari hari aku tiba di sini, beberapa bulan telah berlalu.

Entah kenapa, kali ini aku tampak lebih sibuk dibanding waktu dua bulan yang aku habiskan dengan keluarga Bibi.

Pada hari itu, setelah mendapatkan tanda merah berbentuk tangan di wajahku begitu 

aku tiba, aku mengkhawatirkanmu apa yang akan terjadi padaku. Untungnya, hari-

hari di sini tela berlangsung damai sampai sekarang.

Omong-omong, aku terkejut ketika mengetahui bahwa perempuan yang telah 

memberiku tanda itu, “Kido,” juga seorang yatim piatu yang datang ke sini dengan 

kondisi yang sama sepertiku.

Semuanya baik-baik saja jika hanya sejauh itu, tapi aku jadi lebih terkejut karena 

mengetahui bahwa kami akan tinggal di ruangan yang sama.

Karena biasanya kamar dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, tetapi karena kamar 

lain semuanya telah penuh, dan toh kami masih anak-anak, ini telah menjadi 

keputusan akhir.

Aku pernah mendengar anggapan ini sebelumnya, tetapi ini adalah pertama kalinya 

aku merasa bahwa "pertemuan yang ditakdirkan" benar-benar ada.

Untuk tambahan - alasan kenapa aku mulai memanggilnya “Kido” karena aku hanya 

mendengar nama belakangnya saat perkenalan sebelum kami terganggu. Dan 

kemudian, setelah pertemuan pertama kami, dia bahkan menolak untuk berbicara 

padaku, dan dia pikir aku adalah orang cabul.

Aku tidak ingin membiarkan “Teman #1” ku kabur begitu mudah, jadi aku terus 

mengikutinya dari belakang, terus-menerus memanggilnya “Kido-san” Ketika akhirnya dia berkata “kau tak perlu menggunakan -san,” aku begitu terbebani dengan emosi kalau aku hampir mulai menangis saat itu.
Tapi kemudian, dia tidak pernah memberitahu kepadaku nama depannya pada bulan 

berikutnya, sehingga aku tetap memanggilnya “Kido.”

Sementara Seto telah meringkuk dan menunggu kami berdua di ruangan ini, dia 

sudah tinggal di ruangan ini sejak awal.

Kepribadiannya berbeda dari sikap dingin dan kaku Kido. Meskipun ia juga tidak 

banyak bicara, pada suatu hari ia mendadak mulai berbicara panjang lebar padaku, 

seolah-olah berusaha menghiburku karena Kido terus mengabaikanku.

Dia mengatakan bahwa ia telah berada di panti asuhan ini sejak lahir.

Dia tidak memiliki seorang teman pun, dan bahkan sering ditindas oleh orang lain dari 

penghuni sini.

Bahkan temannya hanya, seekor anjing bernama Hanako yang telah mati akhir 

tahun... Dia menceritakannya padaku dengan air mata mengalir dari wajahnya. Tidak 

peduli walaupun dia berusaha “menyemangatiku,” hasilnya sama sekali tidak 

berhasil.

Namun, saat aku mencoba menghiburnya denga kata-kata seperti “tidak apa-apa, 

tidak apa-apa” sesuatu seperti sebuah “ikatan” telah berkembang antar Seto dan aku.

Terus terang saja, dia lebih seperti seorang teman dibanding “Teman #1” ku, Kido, 

yang bahkan telah menolak untuk berbicara padaku sejak saat itu.

Karena itu, Seto menjadi “Teman #2” ku.

Dan karena itulah ada kaitannya ia datang kepadaku suatu hari, dan bertanya “Kita 

berdua… teman, 'kan?” dengan ekspresi yang seolah berkata “Aku akan mati jika kau 

bilang tidak.”

Aku hanya bersantai menghabiskan hari-hariku dengan anak yang disebut Seto ini.

Selama waktu berlalu, akhirnya Kido juga bersedia berbicara padaku. Meskipun 

masih sedikit tidak wajar, sampai sekarang, kami bertiga masih mengarungi 

kehidupan kami bersama dengan lancar…

…Tidak. Sama sekali tidak lancar.

Kenyataannya, kehidupan kami lebih kebalikan dari “mengarungi dengan lancar.”

Jika tempat tidur yang saat ini kami sedang sedang duduki adalah perahu layar, maka 

itu akan menjadi seperti layar yang rusak dan mencoba untuk membuat jalan 

sendirian melewati pusat mati Samudra Pasifik di tengah-tengah badai yang 

mengerikan.

…Dan itulah sebabnya kami mengadakan pertemuan ini.

Sejujurnya, kami tidak suka karena dipanggil “monster” atau “iblis” oleh para pekerja 

dan penghuni lain dalam panti asuhan ini, dan kami muak dengan tanda bertuliskan 

“Ruangan Monster” yang tertempel di luar pintu.

Jadi, kami harus menyingkirkan reputasi buruk itu sesegera mungkin.

"M-monster… Iblis…"

"Ya, aku berharap mereka pergi saja…… Eh?"

Aku tidak pernah berbicara dengan lantang menyebut sebutan itu sebelumnya, aku 

hanya memikirkannya dalam benakku. Tapi, mengapa Seto selalu menyebutnya 

berulang-ulang?

Aku memutuskan untuk melihat Seto, yang barusaja mengangkat kepalanya dari 

bantal yang dia gunakan untuk menyembunyikan wajahnya, menatap dengan mata berair - mata yang telah diwarnai dengan warna merah tua memukau.

Aku sempat bengong “ah,” beberapa saat setelah berpikir dan kemudian menutup mataku.


(…Kau bisa mendengar apa yang kupikirkan lagi?) Aku mengucapkannya dalam benakku.

"M-Maafkan aku, aku bisa mendengarnya." Seto menjawab dengan ekspresi merasa bersalah, dan kembali menyembunyikan wajahnya hanya hingga matanya tidak dapat terlihat.

Sudah kuduga.

Aku mulai berbicara dalam benakku sekali lagi. (Itu berhenti terjadi lebih sering akhir-akhir ini, bukan? Tapi, kekuatan Seto selalu mulai begitu tiba-tiba.)

Seto, dengan mulutnya yang masih tersembunyi dengan bantal, menjawab dengan 

malu, “Ini harus segera berhenti…”

Aku menyeringai sedih, tapi udara aneh tiba-tiba terpancarkan dari arah Kido.

Aku menoleh dengan ketakutan untuk melihat Kido yang memelototi Seto dengan 

ekspresi marah di wajahnya. Melihat itu, Seto tampak seperti tikus yang telah 

berhadapan dengan ular mematikan.

Tangannya langsung gemetar, ia berusaha membela diri yang sepertinya bisa 

membaca pemikiran Kido. “A-Ah, aku tak merendahkan diri! Maaf, Maafkan aku! 

Eh……? T-Tidak! Aku tidak punya maksud melakukannya dengan sengaja!”

Tentu saja, dengan berkata demikian, ia masih merendahkan dirinya. Kebiasaannya 

itu benar-benar sangat mengakar kuat pada karakternya.

Kido melemparkan cat's cradle-nya ke samping, mendorong dirinya berlutut saat ia 

maju ke arah Seto, tangan kanannya membentuk kepalan tangan dan dia berkata, 

“Berapa kali sudah kubilang, jangan suka merendahkan diri…?”

Bersamaan dengan itu, mungkin karena sangat ketakutan, air mata yang besar 

bergulir dari mata Seto saat ia mulai menjerit karena ketakutan.

Ini benar-benar buruk.

Aku menyelipkan diriku di antara Seto dan Kido, mengangkat tanganku dan berusaha 

menenangkan.

"Tunggu, berhenti, berhenti! Kido, kau tak usah terlalu marah karena ini? Benar 

'kan?"

Aku memaksa senyum di wajahku ketika aku berbicara, dan berusaha mengulur 

waktu untuk beberapa saat, namun Kido hanya menatapku dingin, seolah-olah 

mengatakan “minggir, atau kubunuh kau”

Tatapannya benar-benar sangat tidak bersahabat. Jika aku menjadi pahlawan 

tokusatsu seperti Ultraman sebagai contohnya, dia pasti akan menjadi musuh 

monsterl kecil.

Saat aku memikirkan hal itu, aku mendengar Seto tertawa dari belakangku seolah 

mengulangi apa yang kupikirkan, “pffff, monster kecil.”

(Hei, apa yang kau tertawakan!? Aku mencoba membelamu, kau tahu!?) Aku bicara 

dalam benakku, dan Seto buru-buru bergumam “M-Maaf!”

Seperti yang diharapkan, kemarahan Kido tampak makin bergejolak lebih dari 

sebelumnya.

"Kau merendahka diri lagi… dan Kano. Kau mengatakan sesuatu pada Seto barusan, 

iya 'kan?" Kido berbicara dengan nada yang tampak tenang, namun tetap terdapa 

niat membunuh.

"Eh!? G-Gak, aku tak mengatakan apapun! Iya 'kan, Seto!?"

"Y-ya! Dia tidak mengatakan apapun tentang monster kecil atau semacamnya!"

Sesaat kemudian, kepalan tangan Kido dengan cepat melayang lurus ke arah dadaku.

"Oof!"

Tidak dapat berdiri melawan kekuatan itu, aku tersungkur ke belakang lembaran 

putih. Bahkan aku hampir bisa mendengar efek suara pukulan permainan yang indah 

seperti menandakan kekalahan.

Di waktu yang bersamaan, Seto dengan menyedihkan hanya berkata “Eeeeek—!!”

Berusaha untuk mengabaikan rasa sakit dari perutku, aku mengangkat kepalaku 

untuk melihat ekspresi Kido saat itu. Mungkin karena pukulan terhadapku telah 

sedikit menghilangkan kemarahannya, air mata mulai muncul di matanya sampai dia 

mulai terisak-isak.

Dan kemudian, seolah-olah telah sepakat, Seto mulai menangis juga.

Ketika aku merasa pulih, setela terkena sebuah pukulan, aku dihadapkan dengan 

mereka berdua menangis bersama-sama…

……Hei, apa yang terjadi di sini?

Biasanya, dalam situasi seperti ini, haruskah aku menjadi orang yang tidak menangis?

Namun, mereka berdua hanya mulai menangis lebih keras dan lebih keras, benar-

benar mengabaikan perasaanku.

"Aah, ini buruk, jika terus seperti ini…"

Aku tersadar dari lamunanku dan saat aku menatap ke arah Kido. Seperti yang 

kuduga, warna merah mulai merambat ke matanya, dan figurnya mulai sedikit kabur.

Benar… Tanpa alasan, setiap kali Kido kesal, atau menangis, kesepian atau 

semacamnya akan berefek seperti itu, dia akan menjadi transparan… Tepatnya, dia 

akan menjadi“tidak bisa disadari oleh orang lain.”

Namun, kekuatannya juga memiliki keterbatasan yang cukup acak, dia “bisa disadari” 

lagi ketika dia “membuat kontak fisik dengan orang lain.”

Dengan demikian, selama kami memegang tangannya, atau melihat-lihat tempat di 

mana dia menghilang, semuanya akan baik-baik saja. Contoh yang paling merepotkan 

adalah ketika Kido berjalan keluar sementara dia dalam keadaan tidak terlihat.

Ada saat-saat ketika kekuatan Kido akan diaktifkan karena emosi negatif, dan 

kemudian dia akan berkeliaran keluar dari ruangan.

Sebelumnya, ketika dia menghilang sedemikian rupa, dan sama sekali tidak kembali 

setelah itu, Seto dan aku akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencarinya.

Hal ini sedikit memalukan untuk dikatakan, tapi hanya di saat seperti itu aku tidak 

bisa menyebutn Seto cengeng, karena aku juga tidak bisa berhenti menangis sendiri 

saat itu.

Pada akhirnya, kami tidak dapat menemukannya hingga pagi, ketika kami 

memutuskan untuk kembali ke kamar untuk sementara waktu, kami malah 

menemukan biang keladi masalah tertidur di tempat tidur seolah-olah tidak ada yang 

terjadi. Aku benar-benar tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi.

Itulah sebabnya ... sebaiknya aku mencari cara untuk menghentikan mereka 

menangis sekarang.

Jadi aku membayangkan sesuatu di kepalaku. Aku sengaja telah mengingat sebuah 

bentuk khusus sebagai cadangan, yang mereka berdua tidak pernah lihat lagi, dan 

sekarang aku membiarkan sosoknya, bentuknya, suaranya, mengapung di 

pikiranku…

Saat aku membuka mataku, mereka berdua bersamaan mengatakan “Wow!” dengan 

gembira. Mendengar reaksi yang diharapkan, semangatku sendiri terangkat secara 

substansial.

Aku melompat dengan cepat ke tanah, melambaikan satu kaki pada mereka. Mereka 

berdua awalnya tampak terkejut, tetapi karena geranaku, ekspresi mereka berubah 

kembali sepenuhnya tersenyum lebar.

"Ini adalah kucing!"

Itu benar. Untuk saat-saat seperti ini, aku berkelana keluar pada malam hari 

mengamati kucing liar, mengingat bentuk mereka. 

Setelah beberapa bulan menghabiskan waktu dengan mereka, aku mengetahui bahwa 

Kido menyukai hal-hal lucu, dan Seto menyukai hewan.

Jika itu terjadi, maka sosok “kucing hitam” ini bisa menjadi sesuatu yang mereka 

berdua sukai.

Seperti yang kuharapkan, keduanya mulai terlihat sangat tertarik.

Kido mencondongkan tubuh dari tempat tidur, bertepuk tangan, mengatakan, “S-

Sini! Ke sinilah, kucing kecil!” Di saat yang sama, Seto mulai memanggilku juga.

Melihat dari dekat, warna merah telah menghilang dari kedua mata mereka, dan figur 

Kido juga menjadi jelas lagi.

Ufufufu, manis sekali.

Jika aku berubah kembali sekarang, mereka akan pasti sudah senang, tapi mungkin 

aku akan menggoda mereka sedikit lebih lama.

Seolah-olah sebagai balasan atas sebelumnya, aku mendekatkan diri beberapa 

langkah, sebelum kemudian berlari ke belakang lagi, mengulangi lingkaran ini 

berkali-kali. Ini seolah menarik hati mereka dengan pola gerak yang sama, dan 

mereka mulai melakukan hal aneh lagi dan tindaka lebih aneh lagi dalam upaya untuk 

menggalang minatku.

Ini benar-benar, benar-benar memuaskan. Sejujurnya, aku merasa begitu senang 

hingga hampir roboh ke lantai dan tertawa pada saat itu juga.

Karena mereka tampak sangat menikmatinya, aku tidak bisa terus-menerus seperti 

ini.

Terus, apa lagi? Mungkin aku harus sedikit berdansa. Ya, itu terdengar bagus.

Dalam keadaan kegembiraan yang luar biasa, aku yang di atas meja, mulai menari 

dengan cepat. Melihat hal ini, mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

Aah, betapa senangnya. Aku sudah tidak pernah merasa sebahagia ini lagi.

Aku mulai berdansa semakin liar, ketika tiba-tiba aku mendengar bunyi yang berasal 

dari pintu masuk.

Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya, tapi melihat mereka berdua melihat ke 

arah pintu dengan wajah pucat, aku juga berbalik.

Aku tidak menyadarinya karena semua suara tawa, tetapi beberapa saat setelah 

pintu masuk kamar telah dibuka, dan dari ruang yang menghubungkan kamar dan 

koridor, terdapat petugas patroli malam yang terbaring di tanah.

Kenapa dia mendadak tertidur di tempat seperti itu? Aku bingung sesaat, tapi 

alasannya mudah dimengerti dengan hanya berpikir sejenak.

Aku berhenti, mendadak rasa dingin menyebar ke seluruh tubuhku..

"A-Apa yang akan kita lakukan, kucing kecil?" Kido berbisik menanyaiku.

Kita akan apa? Aku menanyakan itu pada diriku sendiri.

Tanpa ide apapun, aku hanya bisa mengeluarkan suara “meow~”

……Setelah itu, petugas patroli malam itu menjadi sedikit mengalami gangguan 

kejiwaan, dan telah dikirim ke beberapa panti asuhan yang lain setelah mengatakan 

bahwa ia “masuk ke sebuah kamar karena bermaksud untuk mengingatkan anak-

anak untuk tidur karena telah larut malam, tapi melainkan malah bertemu dengan 

seekor kucing hitam yang berdansa dengan kalut.”

Dan, tak usah dikatakan, kejadian ini tak dapat disangkal lagi memicu gelombang baru 

komentar negatif terhadap Ruang 107, begitulah kami disebut “Ruang Monster.”

***

"Ruang 107" kamar di ujung sebuah bangunan tunggal.

Duduk di tempat tidur yang agak kotor dari salah satu dari dua tempat tidur yang 

ditempatkan di dalam kamar - tempat tidurku - kami mengobrol tentang pertemuan 

seperti biasa.

Topik hari ini adalah - “Kami, yang sekarang disebut sebagai ‘monsters’ oleh panti 

asuhan perawatan ini… benar-benar tidak bisa membiarkannya terus seperti ini.” 

Sesuatu seperti itu.

Meskipun… hal yang mengejutkan ini tidak memperbaiki situasi sama sekali. Terlebih 

lagi, tampaknya reputasi kami semakin buruk dan dan lebih buruk, dan rumor 

mengenai kami menyebar ke seluruh tempat.

Misalnya - “Ada hantu menangis yang berasal dari bilik paling dalam dari toilet lantai 

pertama anak perempuan setiap malam, tapi tidak ada siappaun yang terlihat.”

Terlebih lagi, semua orang tampaknya sepakat bahwa “hantu itu selalu mengunjungi 

kamar kami.” Serius deh, siapa yang memulai rumor ini?

Tidak hanya mengunjungi - dia bahkan tinggal di kamar kami, sialan!

Aku coba menanyai Kido soal itu, tapi dia tampaknya tahu mengenai siapa pelakunya, 

dengan marah mengatakan, “Aku akan menghajar siapapun yang memulai rumor 

itu…!”

Aku berhasil membujuknya bicara soal itu.

Hal lainnya - “Seorang karyawan, yang membicarakan salah satu anak dari Ruang 

107, menghilang keesokan harinya. Mereka pasti anak iblis.”

Aku sangat bingung dengan rumor ini, tapi kemudian aku mendengar Seto berbicara, 

“Omong-omong, ada seorang karyawan pria yang mengenakan pakaian dalam wanita 

sebelumnya. Dia menghilang setelah aku bertanya kepadanya ‘Bukankah itu pakaian 

yang salah?’”

Kurasa itu kesalahan kita.

Yang patut dipertanyakan adalah mengapa karyawan tersebut telah melakukan hal 

tersebut, dan mengapa ia pergi, kami yang anak-anak tidak begitu mengerti.

Dan yang terakhir - “Ada seorang cowok dari kamar bangunan tunggal yang terus 

mengendus kucing." Yah yang itu adalah aku. Sangat memalukan.

Rumor gelap terus menumpuk satu demi satu setiap hari, hingga kami bahkan tidak 

bisa mulai mencoba untuk menghilangkan mereka.

…Yah, bukan “kami.” Kedua lainnya sama sekali tidak berusaha, jadi hanya aku yang 

melakukan semuanya.

Hari ini, juga, aku mendengarkan rumor itu sebagai contoh, dan meminta ide lain 

pada mereka berdua.

"Kupikir Kano menjijikan," Balas Kido, tanpa keragu-raguan pada tatapannya.

"Eh? A-ah… eh?"

Mendengar jawabannya yang kejam, ada saat di mana aku mengira perkataannya 

memiliki semacam makna tersembunyi?

"Menjijikan."

Tidak, tidak, itu hanya makna luaran.

"…Ah, yang kubicarakan bukan tentang apa yang kau pikirkan tentang aku 

mengendus kucing. Aku bertanya apa yang akan kita lakukan…"

Aku berusaha untuk menyikat kata-kata tajam Kido dan memusatkan perhatian 

kembali pada pertemuan ini, namun Kido hanya menguap mengantuk tampak 

seolah-olah dia tidak terlalu peduli tentang hal itu.

Bisa kurasakan air mata mulai mengalir dari mataku. Mengapa aku disebut 

‘menjijikan’? Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik.

Mungkin menduga pikiranku, Seto mencondongkan tubuh dan berkata. “Itu tidak 

menjijikkan. Aku juga sering melakukannya.”

……Maaf, Seto. Kurasa itu agak menjijikkan kalau melakukannya setiap saat.

"Btw, berapa lama lagi kita akan berdiskusi? Apakah ada arti dari semua ini" Kido 

mengusap matanya dengan lelah.

"Uu… Tidak, itu… kau benar." Aku tidak punya apa punyang bisa kukatakan lagi.

Meskipun aku berkumpul dengan mereka berdua dengan tujuan mengadakan 

pertemuan hampir setiap malam, kami tidak pernah menemukan cara yang baik 

untuk mengubah situasi kami sama sekali.

"Tapi yah… Jika kita terus seperti ini, kita akan benar-benar diusir, kau tahu?"

"K-Kita akan benar-benar diusir?"

Mendengar kata-kataku, Seto mulai gemetar dengan hebat.

Sebenarnya terbuat dari apa air mata Seto? Mampu menghasilkan begitu banyak air 

mata dalam waktu singkat, cukup mengesankan.

"Aah, ayolah. Tak apa, jangan menangis."

Aku menepuk punggungnya, dan Seto mengangguk pelan, sambil menyeka matanya.

Salah satu hal baik adalah ia tidak menangis terlalu lama. Walaupun begitu, dia 

benar-benar terlalu sering menangis.

"Sudahlah. Aku tidak pikir situasinya akan sampai di mana mereka memberitahu kita 

untuk 'keluar sekarang!’ atau sesuatu seperti itu. Menurutku para karyawan hanya 

takut pada kita, jadi jika kita bisa meningkatkan rasa suka mereka terhadap kita…"

"R-Rasa suka…?"

Meskipun aku mengatakan itu, aku tidak memiliki ide sama sekali.

Pada akhirnya, bisakah untuk meningkatkan rasa positif mereka terhadap kami?

Meskipun tidak ada tempat lain untuk ‘monster’ pergi, Tapi saat ini kami  sudah 

memegang sebutan itu, bagaimana caranya agar kami bisa berusaha meningkatkan 

reputasi kami setidaknya menjadi ‘manusia?’

"…ia tertidur."

Sementara aku berpikir dalam hati, Kido, yang duduk dan telah tertidur.

Mungkin itu sebabnya kenapa ia tidak bereaksi dengan tindakan kekerasan kepada 

sikap merendahkan dirinya Seto.

Tapi, tidak ada alasan untuk membangunkannya dan membuatnya marah lagi.

Aku meletakkan tangan di punggungnya, dengan hati-hati membaringkan dia di atas 

tempat tidurnya. Meskipun dia sangat dingin dan suka menyendiri saat bangun, Kido 

benar-benar cukup lucu ketika dia tertidur dengan tenang.

"Yah, ia tidak tampak seperti anak merepotkan dan menakutkan sama sekali."

Aku dengan pelan menyodok pipi Kido, tertawa pelan, dan Seto juga tertawa, dan dia 

berkata, “Selama dia tidak marah.”

Pada saat itu, Kido mengeluarkan suara lembut bising dari tidurnya, dan Seto 

mendadak terkejut dengan pekikan tanda bahaya.

Jika orang lain melihat mereka berdua sekarang, aku yakin bahwa orang-orang yang 

menyebarkan rumor akan terkejut dan mengatakan kalau mereka tak perlu takut 

sama sekali.

Tapi… Aku tidak pernah mengatakan hal ini sama sekali.

Lagipula, aku bahkan pernah mengira Kido adalah hantu, dan ketakutan padanya, 

ketika kami pertamakali ketemu.

Jika kita manusia tidak saling bicara satu sama lain… jika kita tidak mencoba, kita 

tidak akan pernah mengetahui kebenarannya.

Akan lebih mudah jika mereka bisa mengerti, tapi sulit memberi tahu mereka. Jika 

semua orang tahu, maka akan mungkin bagi kami semua untuk hidup dengan damai. 

Tapi masalahnya adalah…

"Jadi…semua masalahnya adalah ‘mata’ ini yah,..." Seto, yang terjatuh karena 

terkejut, memanjat naik kembali ke tempat tidur sambil berbicara.

"Maaf, aku mendengarnya lagi…" Matanya berubah menjadi merah lagi tanpa 

kusadari.

Aku tersenyum kecil, berkata dalam benakku (Mungkin nyaman untuk memiliki 

kekuatanmu, saat Kido sedang tidur begini.) Seto tersenyum senang, dan diam-diam 

menjawab, “Lalu kita akan memanfaatkannya sebaik mungkin.”

(Benarkah, kekuatan macam apa itu? Itu… pasti jenis kemampuan psikis yang kita 

lihat di TV, 'kan?)

"Um… Kurasa… Itu artinya, kita harus bertanya kepada seseorang tentang…"

Saat ia berbicara, mata Seto penuh air mata lagi.

(Ahaha, maaf tentang itu. Aah, kita tak bisa mengatakan kepada siapa pun tentang 

ini, kan?)

"Y-yeah, itu… ini terlalu mengerikan…"

Itu benar. Dalam pertemuan ini, kami menyadari “kami disebut ‘monsters’ karena 

kekuatan mata kami.”

Jujur, semua pengetahuan tentang kekuatan kami berasal dari pengalaman kami 

sebenarnya. Aku baik-baik saja, tapi Seto dan Kido bahkan tidak bisa mengendalikan 

kekuatan mereka sepenuhnya, bahkan hingga sekarang.

Jika kami semua bisa mengontrol  kekuatan kami, aku yakin rumor mengenai kami 

dengan cepat akan berkurang menjadi setengah sekarang.

Dan proposisi tersebut, “tidak seharusnya kami minta bantuan orang dewasa tentang 

hal ini?” juga telah terangkat.

Namun, serial televisi yang kami nonton saat itu kemungkinan dengan cepat hancur.

Entah kenapa, pada hari itu ada serial yang berjudul “Psychometrer Eiji” tayang di 

TV, tentang seorang anak yang bisa membaca pikiran orang lain. Saat kami sedang 

bercanda tentang bagaimana anak itu mirip seperti Seto, dia malah berakhir 

ditangkap oleh suatu organisasi misterius, mengalami eksperimen mengerikan, dan 

kemudian mati.

…Saat itu, kami - terutamanya - ekspresi Seto… bisa digambarkan kira-kira “seperti 

telah dimasukkan ke dalam freezer dan ditinggalkan di sana dalam jangka waktu yang 

lama.”

Pada saat itu juga, kami bersama menyadari bahwa “pemilik kekuatan psikis akan 

mengalami eksperimen dan mati.”

Omong-omong, setelah beberapa menit, kupikir Seto akan gemetar lagi, tetapi dia 

malah menyembunyikan dirinya dengan selimut, dan tidak keluar sepanjang hari.

Setelah hari itu, kata “Psychometrer” menjadi kata tabu bagi Seto, dan belakangan 

ini, juga telah menjadi kata ajaib dimana Kido selalu mengumamkannya untuk 

mengamati reaksi Seto.

Dan karena alasan itu, kekuatan kami tetap menjadi rahasia, dibatasi ruangan ini dan 

ruangan ini sendiri.

(Maksudku, segala sesuatu tentang kekuatan ini masih tak diketahui, dari sumber 

alasan munculnya… Bukankah sedikit menakutkan untuk memikirkannya?)

"Itu benar… Milikku dan Kido bahkan selalu aktif secara tiba-tiba…"

Seto menghela nafas.

Kekuatannya “membaca pikiran orang-orang” dan kekuatannya tampak bervariasi 

tergantung pada waktu dan tempat. Level paling kuat adalah, bahkan dia bisa 

merasakan “perasaan” serta “kenangan masa lalu” dari target.

Sebaliknya, jika hanya sedikit saja yang diaktifkan, seperti sekarang ini, dia hanya 

bisa membaca “kata-kata yang dengan sadar diucapkan dalam benak target 

tersebut.”

Pernah sekali, Seto mencoba untuk menjelaskan secara rinci kepadaku dengan kikuk, 

tapi sebenarnya masih terlalu banyak hal yang hanya bisa dipahami sendiri oleh 

pemegang kekuatan.

(Kekuatan kalian berdua sungguh merepotkan. Terutama Kido, karena siapa saja 

yang melihatnya dapat menyadarinya ketika kekuatannya aktif.)

Sementara kurang bisa untuk diprediksi, Kido tampak masih tidak bisa mengontrol 

kekuatannya yang dapat membuatnya “tak terlihat.”

Dia mengaku kekuatannya aktif ketika dia menjadi marah, tapi apa sebenarnya 

alasannya?

Untungnya, belum ada hal buruk yang telah terjadi… Aku ingin berpikir demikian, 

tapi tidak peduli apa, sangat penting untuk belajar cara mengontrol kekuatan mereka 

sebelum hal yang buruk benar-benar terjadi.

Benarkah... apakah ada cara?

"Jika kita setidaknya bisa menahan kekuatan ini, itu akan bagus…"

(Menahannya, huh…? Yah, kau harus fokus untuk mencoba menahan air matamu 

terlebih dahulu, yah?)

Aku tersenyum saat berbicara dalam benakku, dan Seto tersipu malu sambil 

menangguk dan bergumam setuju.

(Kau tahu, anggap saja lelucon, mungkin ada hubungannya. Toh, kekuatanmu dan 

Kido tidak aktif ketika kalian tak menangis.)

"T-Tapi itu mustahil untukku… Aku ingin berubah, tapi itu terlalu sulit…"

Seto terlihat murung.

(Kau bahkan belum mengubah kebiasaan merendahkan dirimu)

"Uu… ya. Aku minta maaf."

Melihat betapa sedihnya dia, itu jelas bahwa ia tidak sengaja melakukannya.

Kido harus tahu ini juga, tapi sampai sekarang, dia belum menunjukkan tanda-tanda 

menurunkan sikap tegasnya tentang kebiasaan Seto.

Sejujurnya, saat melihat kebodohan mereka dan menangani situasi itu, aku bisa 

merasakan kemampuanku sendiri. Itu adalah pikiran yang mengerikan.

Tidak… Bahkan anak-anak lain di sekitar kami kebanyakan canggung. Meskipun aku 

sudah memikirkan ini sebelumnya, aku benar-benar benci bagian dari diriku yang 

memandang rendah “perikemanusiaan” orang lain.

"Tapi, jujur, Kano, kau luar biasa. Kau bisa mengontrol kekuatanmu, dan kau bahkan 

bisa menolong kami"

Seto tersenyum saat mengatakannya, tapi entah kenapa, aku sama sekali tidak 

merasa senang mendengarnya.

(Ehh? Itu tak benar kok! Aku sama seperti kalian berdua. Ada banyak hal yang tak 

kutahu, dan kutakuti…)

"……Huh?"

Seto, yang harusnya membaca pikiranku, tiba-tiba memiringka kepalanya.

Aku buru-buru menatapnya, dan pada saat itu, warna merah tua menghilang dari 

matanya, dan digantikan oleh warna normalnya.

"I-Ini aneh. Aku pikir ini berhenti! Hmm… Maaf, selalu saja seperti ini" Seto 

menundukkan kepalanya.

"Um, aah, tak apa, tak apa! Jangan khawatir." Kataku sambil tersenyum.

"But, hal terakhir yang kau pikirkan… Aku tidak mengerti…"

"……Oh, Begitu. Itu pasti— yah, karena kekuatanmu hendak nonaktif, sehingga 

kata-katanya jadi sedikit kacau, 'kan?"

"Y-Ya, kurasa begitu. Aaaah… kekuatan ini datang dan pergi tanpa peringatana." 

Bahunya merosot saat dia berbicara.

"Sudahlah, itu tak terlalu buruk. Melihatmu yang sedang mencemaskan kekuatanmu 

agak lucu juga, kau tahu?" Kataku bercanda, dan mengembungkan pipinya seolah 

mengatakan "jangan mengejekku!"

"Tapi serius… Aku harus berubah! Bukan hal yang baik untuk terus menyusahkan 

semua orang seperti ini." Seto berkata dengan gairah. Tidak seperti barusan, 

sekarang dia mendadak seperti dapat diandalkan.

"Ahaha, yah, perlahan saja. Jika kau tak terlalu memaksakan diri untuk berubah, 

itu…"

"……Tidak bagus."

Orang yang menyela perkataanku adalah Kido.

Wajah tidurnya yang lucu telah diganti dengan ekspresi menusuk seperti biasanya, 

dan kemudian menatap Seto.

"Merendahkan diri. kapan kau menyingkirkan kebiasaanmu itu?"

Katanya denga tenang, Seto merespon dengan pekikan kecil.

Meskipun aku sudah terbiasa dengan dialog semacam ini, tapi entah mengapa aku 

merasa sangat marah, aku terganggu sebelum aku bisa menahan diri.

"……Itu tak baik, kau tahu?" Saat aku berbicara, Kido, masih berbaring telentang, 

mengalihkan tatapannya dari Seto kepadaku.

"Kau bicara apa?" Kido berkata sambil perlahan bangun, melotot ke arahku.

Biasanya, di saat seperti ini, aku hanya tersenyum dan berusaha untuk 

menyelesaikan masalah, tapi hari ini, entah mengapa, aku tidak bisa menahan 

kemarahanku.

"Kau mendengar Seto? Bukankah dia bilang hanya ingin berubah?"

"Tapi dia tak berubah, 'kan? Meski aku sudah mengatakannya berulang-ulang." Kido 

tak terlihat ingin mengalah, dan berbicara keberatan..

Mendengarkan kami, Seto berkata “u-um……” seolah untuk menyela.

Tapi tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang.

"……Itu membuatku marah."

Aku harus bisa - harus bisa - cukup dia, tapi aku telah mengatakan perasaanku yang 

sebenarnya. Dan tepat setelah itu, semua pikiranku mulai mengalir melalui bibirku 

dan terus berbicara.

"Kau tak memikirkan yang lain, kau hanya terus-menerus keras kepala dan 

memikirkan dirimu sendiri. Kau pikir kau siapa? Sejujurnya, aku tak bisa terus setuju 

dengan apa yang kau lakukan lagi. Dan Kido, kau…" 

Sebuah benturan kerasa tiba-tiba terasa di wajahku, dan penglihatanku berguncang.

Dengan keadaan yang tiba-tiba ini, pikiranku membeku sejenak, tapi ketika aku 

mendengar teriakan lembut tanpa suara Seto yang ketakutan, aku akhirnya 

menyadari bahwa Kido telah menamparku.

"Itu sakit.”

Aku melotot ke arah Kido

Perasaan gelap yang belum pernahku alami sampai sekarang mulai mengisi hatiku.

Kido, juga, terang-terangan menunjukka ekspresi permusuhan.

"Siapa yang tak pernah memikirkan orang lain? Kau sama saja. Kau tak tahu apapun 

tentangku."

Saat Kido berbicara, matanya perlahan mulai berubah menjadi merah tua.

Dan di saat yang sama,  tangan keji yang memukulku mulai menjadi tak terlihat 

sedikit demi sedikit.

Tetapi bahkan melihatnya seperti itu, aku tidak memegang dan menenangkannya 

seperti biasa, hanya membuat suara penghinaan.

"Yang kau lakukan hanya terus memukuliku, jadi bagaimana aku bisa tahu 

tentangmu? Aku bukan Seto, kau ngerti? Dan apa, kau akan menghilang lagi? 

Menyenangkan sekali, memiliki kekuatan yang nyaman."

Pasti ada cara yang lebih baik untuk menempatkannya, tapi pada saat itu, aku hanya 

membiarkan diriku terbawa oleh emosi, dan mengucapkan kata-kata mengejek.

Sekilas wajah Kido kebingungan, seakan dia tak memahami apa yang kukatakan, 

meski dia tidak mengerti apa yang kukatakan, tapi tepat setelah itu, wajahnya 

menjadi merah dengan marah dia mengulurkan tangan untuk meraih kerahku.

"Kau!"

Mendadak didorong mundur oleh Kido dengan seluruh kekuatannya, aku terjatuh, 

tak bisa apa-apa.

Aku ingin melawan, tapi berjuang sekuat tenagapun, aku tidak bisa mengubah 

posisiku saat ini. Sayangnya, Kido benar-benar dan tidak dapat disangkal lebih kuat 

dariku.

Dia terus menekan berat badannya di atasku, tanpa ampun memukul wajahku 

dengan serangan berulang.

Mendengar suara tamparan, Seto hanya bisa berkata dengan lemah “eek…!”

"……Itu sakit…! ….Apa, kau hanya akan…"

"Berisik! Diam!"

Aku membuka mulutku, tapi Kido dengan cepat menutupnya. Tidak bisa berbicara, 

aku hanya bisa menggera sambil menendengan di udara.

Sementara aku masih dibungma, air mata Kido mulai berjatuhan ke wajahku.

"…Kano… Aku… membencimu…!"

Saat Kido mengatakannya, ada sesuatu yang tajam, mengiris rasa sakit sakit dihatiku, 

dan bahkan kakiku menjadi sepenuhnya tak bertenaga.

Ini berbeda dengan rasa sakit dipukul. Ini, rasa sakit karena mendengar kata-

katanya, pahit, sangat dingin, seolah-olah aku telah disiram oleh air dingin.

Kata-katanya semakin terbenam dalam pikiranku, hatiku yang ketat tampak 

mengerut.

Melawan rasa takut yang membutakan, aku mendorong lengan Kido menjauh. 

Tangannya pindah ke wajahnya, menutupinya saat ia mulai terisak sendiri.

Aku bahkan tidak bisa memikirkan apa yang harus kukatakan padanya saat dia 

menangis.

Aku harus bilang apa? Dia bilang membenciku sekarang, apa yang aku bisa…

"…Terimakasih untuk itu."

Saat otakku mati-matian untuk memikirkan sebuah jawaban, kata-kata tak 

terpikirkan itu keluar dari mulutku.

Aku sungguh dalam masalah. Aku sama sekali ... tidak ... berencana mengatakan 

sesuatu seperti itu, tapi… kenapa aku mengatakannya?

Kido tampak tertegun dengan apa yang kukatakan, dan itu saat itulah aku menyadari 

bahwa aku telah melakukan sesuatu yang tidak bisa kutarik kembali.

Sejujurnya, aku ingin dia memukulku seperti biasanya.

Jika itu akan membuatnya senang, jika itu akan membuatnya tidak membenciku, aku 

tidak peduli jika berakhir dengan memar dan babak belur. Aku tidak berarti sama 

sekali.

Namun, Kido tidak mengangkat tangannya kepadaku sekali lagi. Dia hanya menyeka 

air matanya dengan tangan sebelum menjauh dariku, jauh dari tempat tidur, tanpa 

sepatah katapun.

"T-Tunggu dulu, Kido! Maaf—"

"……Cukup. Jangan bicara denganku"

Aku mencondongkan tubuh dari tempat tidur untuk berbicara, tetapi Kido bahkan 

tidak berbalik saat ia menjawab dengan dingin.

Saat aku masih bingung bagaimana untuk menanggapi sikap suka menyendirinya, 

Seto bergegas maju, mengatakan, “I-Ini semua salahku”

Tepat setelah itu, dia menutup mulutnya, menyadari dia merendahkan dirinya sekali 

lagi.

Sementara aku yang biasanya tidak keberatan dengan kebiasaannya, sekarang aku 

merasakan gelombang kebencian terhadap itu.

Namun, Kido tidak menegur kata-kata Seto seperti biasa, hanya mengatakan, “Seto. 

Cukup.”

"…Dan, aku akan pergi dari sini."

Baik Seto dan aku tertegun mendengar kata-katanya.

"A-Apa yang kau…?"

"Seorang karyawan berbicara padaku sebelumnya. Mereka berkata ada seseorang 

yang ingin mengadopsiku… Aku mau menolak, tapi sekarang, aku ingin meninggalkan 

tempat ini sekarang."

"K-Kau bercanda, iya 'kan!? Hal semacam itu…" Seto bertanya tiba-tiba, dan Kido 

akhirnya berbalik.

"Aku tak bercanda. Dan kubilang janga me… sudahlah."

Kido menyeringai sedikit sebelum berbalik kembali, mengubur dirinya ke dalam 

selimut pada tempat tidurnya. “Jika kau bicara padaku lagi… Aku akan benar-benar, 

benar-benar memukulmu.” Memberikan peringatan terakhir, ia jatuh dalam 

keheningan.

Jadi barusan bukan pukulan nyata?

…Setelah itu, keheningan terus berlanjut.

Seto dan aku tidak membalas tatapan satu sama lain. Sebaliknya, kami berdua hanya 

terus menatap tempat tidur Kido.

Anehnya, Seto tidak menangis, dia juga tidak terlihat sedang berusaha menahan air 

matanya. Pikirannya mungkin belum selesai mengolah apa yang baru saja terjadi 

karena shock.

Aku benar-benar tidak bisa bicara sekarang. Pikiranku dalam keadaan bingung.

Setelah dia berkata membenciku, memberitahuku untuk tak bicara dengannya… Aku 

tidak punya cara sama sekali untuk memperbaiki situasi ini.

Mungkin Seto tahu bahwa Kido akan bersikap seperti itu. Memperlakukan orang 

yang dia “benci” sebagai musuh.

"…Apa yang akan terjadi pada kita?"

"……Yah."

Aku memberi balasan yang sangat singkat pada ertanyaan Seto, bersandar di tempat 

tidur dan menutup mataku.

Jika aku tidak melakukannya, aku mungkin akan meluapkan kemarahanku padanya.

Seto tetap diam beberapa saat, dengan gagap mencoba untuk memulai kalimat lain, 

tapi dia menyerah setelah melihat kurangnya reaksiku. Berkata “Aku, sungguh minta 

maaf,” ia naik ke tempat tidur.

Setelah beberapa saat, suara isakan  datang dari atasku, tapi dalam beberapa menit, 

ia berhenti menangis, dan suatu keheningan yang terjadi memenuhi seluruh ruangan.

Dalam keheningan, berbagai macam pikiran mulai mengalir dalam pikiranku, tapi 

tidak ada yang akan membantu kami kembali ke kebahagiaan hari kemarin. Di saat 

sedang tengah-tengah pikiran ini, aku tertidur tanpa sadar.

Kido diadopsi tinggal seminggu lagi. Dalam seminggu pula, kita tidak berbicara 

sepatah katapun satu sama lain.

***

"Aah, cuacanya sedang bagus, 'kan? Rasanya pas untuk piknik~"

Suara itu berasal dari kursi pengemudi, ramah dan ceria seakan menembus 

keheningan yang tidak nyaman di dalam mobil.

Duduk di belakang kursi pengemudi, aku tidak menjawab, dan hanya mendesah 

pelan.

…Ini bukan karena aku sengaja bersikap dingin.

Di luar jendela, para pejalan kaki yang meramaikan trotoar semuanya mengenakan 

mantel yang berat. Membicarakan piknik meskipun pemandangan di luar sangat jelas 

terlihat bersuhu rendah… Aku akan mati beku jika kami sungguhan pergi. Lagipula, 

aku tidak baik dengan cuaca dingin.

Tapi, jika aku berlawanan ide, aku mungkin akan dianggap kasar sebagai, anak nakal 

tidak peka. Itu akan merepotkan.

Sehingga, aku hanya mengucapkan apapun yang ada dalam pikiranku.

"T-Tapi mungkin masih terlalu dingin untuk piknik…" 

Mungkin karena dia tidak bisa terus bertahan dalam keheningan lebih lama lagi, Seto 

berbicara dengan senyum terpaksa dari samping kursi pengemudi.

Awalnya, kupikir dia membaca pikiranku lagi, tapi sepertinya tak terlihat seperti itu. 

Lagipula, matanya tidak berubah menjadi merah.

"Apa yang kau bicarakan~? Cuaca seperti ini bukan apa-apa untuk anak-anak, 

benar? Ayo bersiap-siap tepat setelah kita tiba di rumah!" Suara ceria terdengar lagi 

dari kursi pengemudi.

Seto terlihat sedikit kesulitan, hanya memberikan respon sebuah tawa pelan, 

sepertinya dia tidak yakin lagi harus melakukan apa.

Dia ternyata seorang tipe orang luar ruangan, yah sedikit mengejutkan karena 

mengingat kepribadiannya.

Seringkali, ia akan pergi keluar seorang diri dan kembali ke rumah tertutup dengan 

kotoran, seolah ia telah bermain dengan hewan sepanjang hari.

Rasanya seperti ini suatu hari sekitar sebulan yang lalu juga. Meskipun aku telah 

meringkuk, membeku, di dalam ruangan, ia malah berjalan di luar sepanjang hari

Dan dengan demikian, itu aneh bagi Seto mengatakan sesuatu seperti “ini terlalu 

dingin untuk piknik.”

Padahal, aku bisa mengerti mengapa Seto memilih untuk sedikit berbohong seperti 

itu. Tidak peduli apa, hanya bisa berakhir dengan situasi yang memalukan.

Aku melirik diam-diam ke sampingku, dan aku sekilas melihat Kido, yang duduk di 

belakang kursi Seto.

Dia langsung terlihat tidak puas, mengubah pandangannya sendiri ke luar jendela di 

sisinya.

Aku sudah menduganya ketika mata kami bertemu saat itu, bahuku tenggelam 

karena sikapnya tidak berubah. Di saat yang sama, aku merasa sedikit kesal, dan 

berbalik untuk melihat ke luar jendelaku juga.

Sejak perkelahian kami saat pertemuan seminggu yang lalu, Kido dan aku tetap 

dalam situasi seperti ini.

Karena kami tinggal di ruangan yang sama, mustahil untuk menghindar satu sama 

lain, tapi bahkan dalam kedekatan semacam itu di mana sulit untuk mempertahankan 

kebuntuan, kami berdua bersikeras tetap saling bungkam.

Seto nampak terus-menerus gugup sepenjang periode waktu itu, tapi, mugkin ia tahu 

hal seperti campur tangan hanya akan tambah meruwetkan masalah, dia akhirnya 

tidak mengatakan sesuatu yang istimewah.

Yah, bukannya aku sendiri tidak mau bicara pada Kido.

Justru sebaliknya, aku ingin untuk memperbaiki hubungan dengannya segera, dan 

dan ada kejadian di mana aku akan berjalan ke arahnya tanpa menyadari apa yang 

sedang kulakukan.

Namun, begitu aku semakin dekat, Kido akan memberikan tatapan ganasnya padaku, 

Kido terus menerus menolak untuk memperbaiki pertemanan kami.

Dan selain itu, dia memberitahuku untuk tidak pernah berbicara padanya lagi, dan 

tidak ada lagi yang bisa kulakukan, sehingga keheningan yang merana terbentang 

hingga hari ini……

"Tapi, maaf karena semuanya terjadi begitu mendadak~ Apakah pengelola panti 

asuhani tidak memberitahumu bahwa kami akan mengadopsi kalian bertiga 

bersama?"

Sama sekali tidak, jadi kejadian ini memang cukup mendadak.

Orang yang akan mengadopsi kami mempunyai nama belakang “Tateyama,” dan 

sejak dari awal, mereka sudah berencana untuk mengambil kami bertiga bukan 

hanya Kido.

Tentu saja, Seto dan aku tidak pernah mendengar apapun soal itu hingga dua hari 

yang lalu, saat pengelola memanggil kami untuk berbicara.

Tiba-tiba memberitahu bahwa keluarga baru ini akan datang mengambil kami dua 

hari kemudian, ketika kami bahkan tidak pernah bertemu atau berbicara dengan 

mereka sebelumnya... tampaknya sangat tidak masuk akal. Bahkan jika kami anak-

anak, meskipun dikenal sebagai monster, ini terlalu kejam.

Sederhananya, mereka mungkin ingin kami keluar dari panti asuhan, tapi cara kasar 

yang mereka lakukan membuat kami sedikit marah.

Meskipun ada pilihan untuk menolak. Baik Seto dan aku langsung setuju untuk  

diadaptasi.

Lagipula, kami tidak mempunyai penyesalan atau keterikatan dengan panti asuhan.

Dan lebih penting lagi, ini adalah kesempatan yang bagus, saat kami terlalu depresi 

karena kemungkinan Kido akan pergi sebelum kami bisa berbicara dengannya lagi.

"T-Tidak sama sekali! Kami sungguh senang bisa diadopsi dan diambil bersama! B-

Benarkan, teman-teman…?" Seto berkata, dan berbalik ke kursi belakang.

“Kenapa kau harus berbalik, idiot," Aku berkata dalam benakku, tapi sayangnya, 

mata Seto tidak berwarna merah, dan aku hanya dihadapkan dengan ekspresinya 

yang mengatakan, "Tolong katakan ‘ya’?"

Keok, aku menjawab, “Sangat senang.”

Sebaliknya, Kido tetap berekspresi tidak puas, dengan malas samar-samar 

menggerutu setuju sebagai responnya.

Mulai gemetar dengan senyum kaku pada wajahnya, ekspresi Seto seperti 

mengatakan, “Bisakah kau jawab lebih baik…?”

…Yah, aku bisa tahu, bukan karena aku telah mempelajari kekuatan Seto, tapi karena 

dia memang mudah untuk dibaca.

Namun, sementara Kido terlihat tidak senang mengenai seluruh masalah yang ada, 

dia juga tidak rewel setelah tahu bahwa kami akan ikut dengannya.

Sejujurnya, aku benar-benar khawatir kalau dia akan mengatakan sesuatu seperti, 

“Jika kalian juga ikut, aku takkan ikut,” tetapi tampaknya tidak perlu.

Meskipun… seeing her attitude earlier, sebelumnya, dia mungkin belum memaafkan 

kami. Aku mau tak mau merasa sedikit kesal memikirkannya.

Pada waktu kami bersama-sama nanti, akankah kami bisa memperbaiki hubungan 

kami?

"Baik~lah, kita sudah tiba~! Ayo, turun, turun!"

Saat mobil berhenti di tempat parkir, kami turun satu per satu, dan di hadapan kami 

terdapat sebuah rumah bata merah kecil.

Berhadapan dengan bangunan yang tak dikenal semacam ini, Seto dan aku 

memandang sekeliling lingkungan.

Kami mungkin memikirkan hal yang sama - “Apakah rumah seperti ini umum di 

daerah ini?” Rumah ini terlihat memiliki struktur yang sangat berbeda dari bangunan 

daerah perumahan biasanya.

"……Ini imut." Kido bergumam pelan.

Aku berbalik ke arahnya, tapi segera mata kami bertemu, wajah Kido memerah, dan 

dia melotot kembali terlihat mengatakan, “Dasar sampah, apa yang kau lihat?”

Meskipun aku ingin mengatakan sesuatu untuk menjelaskan diriku, aku mengingat 

yang Kido katakan tadi malam. “Jika kau bicara padaku lagi… Aku akan, benar-benar 

memukulmu.” Mengingat itu, aku tetap diam.

Tapi… itu benar. Kido suka dengan hal-hal imut.

Kurasa ini semacam rumah yang perempuan akan anggap “imut.”

Memikirkannya, sebuah ide mengambang di pikiranku.

Jika aku berubah menjadi kucing lagi, akankah membuat Kido menjadi senang?

Terakhir kali aku melakukannya, Kido telah terpukau, hampir seolah-olah ia lupa 

kucing itu aku yang menyamar.

Mengapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya? Itu benar, bukankah itu mudah? 

Jika aku melakukannya sekali lagi…

"Ayo, Ayolah! Cepat dan masuk~!" 

Mengintip di balik pintu masuk, dalamnya sangat berbeda dengan bagian luar rumah 

yang aneh. Di dalam, tampaknya sama saja dengan rumah biasa yang pernah kulihat 

di TV.

Meskipun tempat ini memiliki aroma asing yang berbeda dari ruangan di mana aku 

telah tinggal, aku baru sadar bahwa kami akan tinggal di sini sekarang.

"Hehe, bagaimana rumah baru kalian? Kalian terserah bisa menggunakan apapun 

yang kalian butuhkan di sini— …Ah, ya, aku belum memperkenalkan diri. Aku Ayaka 

Tateyama. Aku baik-baik saja jika kalian mau memanggilku Ibu, tapi bagaimanapun, 

aku harap kalian menganggapku sebagai keluarga." 

Dengan senyum cerah, Ayaka-san menghanyutkan segala ketidakpastian di hatiku 

sampai saat ini.

"S-Senang bertemu denganmu."

Saat aku selesai berbicara, Ayaka-san menjawab “Yup, senang bertemu denganmu 

juga!”, dan menepuk kepalaku.

Sedikit memalukan, aku melihat ke arah Seto dan Kido, tapi mereka berdua menoleh 

ke belakang dengan ekspresi terlihat seperti iri.

Menyadarinya, Ayaka-san berbalik ke arah mereka berdua, menepuk kepala mereka 

lembut sambil berkata, “Senang bertemu kalian berdua juga~!”

Mungkinkah telapak tangannya memiliki semacam kekuatan penenang?

Keduanya tampak puas karena mereka menerima tepukan kepala.

"Terus~ Oh ya, bagaimana kalau kalian bertiga bermain di ruangan kalian saja hingga 

kakak perempuan kalian pulang ke rumah"

Mendengarnya, kami bertiga tiba-tiba tertegun.

"K-Kakak perempuan…?"

Seto bertanya dengan pelan, dan Ayaka-san terlihat sedikit bingung. “Hmm? Kalian 

akan punya kakak perempuan, lebih tua satu tahun dari kalian… Aneh, tidakkah 

pengelola memberitahu kalian?”

Meskipun aku ingin mengatakan, “Maaf, pengelola tidak memberitahu kami sama 

sekali,” tapi Seto dengan cepat menjawab, “A-aah! Itu, ya!”, jadi aku hanya 

mengangguk pelan.

Karena ia telah menerima kami dengan hangat, tampaknya tidak perlu untuk 

menyangkal pernyataannya atau mengorek terlalu banyak masalah.

Lagipula, jika anaknya adalah perempuan, dia harusnya juga orang yang, lembut.

Seto dan aku menatap satu sama lain dengan anggukan pelan dan suara harapan, 

menyatakannya bahwa kami berdua memiliki pemikiran yang sama.

Pada saat seperti ini, kami bisa merasakan sesuatu seperti sebuah ikatan, melupakan bulan saat emosional Kido meledak. Yah…meskipun, jika ia diletakkan seperti itu, itu terdengar sedikit menyedihkan.

Tapi Kido sendiri terlihat tidak bisa untuk mengerti pikiran kami, malah mulai gemetar, dan pucat.

"Ah? Ada apa? Kau baik-baik saja?"

"B-Bukan apa-apa. Aku tak apa…"

Kido menjawab pertanyaan Ayaka-san dengan nada lemah.

Mungkin menyadari bahwa dia tidak terlihat baik-baik saja sama sekali, Ayaka-san menepuk kepala Kido lagi, dan bertanya, “Apakah kau khawatir memiliki seorang kakak?”

Seketika ekspresi Kido terang-terangan hampir terkejut, dan menjawab dengan pelan, “Tidak…”

Tampaknya telapak tangannya benar-benar memiliki kekuasaan khusus.

Setelah sibuk di pintu masuk untuk sementara waktu, kami akhirnya membuat perjalanan lebih jauh ke dalam rumah

Menyusuri koridor, sebelah tangga menuju ke lantai dua, ada sebuah pintu dengan tanda, “Ruangan Anak-Anak.”

"Ini sedikit mendadak, tapi mulai hari ini, ini akan menjadi ruangan kalian!" Ayaka-san mendorong pintu terbuka saat dia berbicara, dan pandangan kami melihat sebuah ruangan yang luas dan terang, sangat berbeda dari "Ruang 107."

"Wow…" Seto menghela nafas takjub. Matanya bersinar, seolah-olah dia punya beberapa ide besar tentang masa depan kami di sini.

Kami buru-buru masuk ke dalan ruangan, melihat benda-benda yang menarik.

Di antranya, ada sebuah lemari dengan beragam mainan, rak buku berjajar dengan sejumlah besar cerita pahlawan tokusatsu... Hati kami takjub pada setiap hal di ruangan ini.

"Aah~ Sepertinya kalian semua suka di sini. Itu bagus! Jadi, sebelum kakak kalian pulang, tetaplah di sini, oke?"

Ayaka-san memberi senyum sambil berbicara dan menutup pintu.

Meninggalkan kami bertiga di Ruangan Anak-Anak.

Dengan itu, ketakutan akan “kakak perempuan” ini mulai menyerang pikiran kami.

Tidak masalah ketika Ayaka-san ada di sini bersama kami, tapi mengetahui bahwa kami akan bertatap muka dengan si kakak masih menyebabkan  kecemasan.

Aku melirik bingung pada yang lain, dan tidak mengejutkan, mereka berdua duduk seperti aku, gemetar sambil menatap lantai.

Tapi bahkan dengan situasi seperti ini, tidak akan menjadi ide yang bagus kami bertiga untuk mendiskusikan “apa yang harus dilakukan selanjutnya”

Lagipula, ancaman Kido akan memukulku jika aku memulai percakapan masih berlaku. Aku tidak akan mempertaruhkan hidupku seperti itu.

Keheningan tidak nyaman terbentang. Bisakah kami… benar-benar menjalani hidup kami dengan damai di rumah ini?

Seto terus melirik padaku. Apakah dia berharap aku melakukan sesuatu pada situasi ini? Sialan.

"…Aku mau ke toilet"

Sebuah kegelisahan kecil karena pada sarafku karena keheningan ini, aku berjalan keluar dari ruangan setelah aku berbicara.

Saat aku sampai di pintu, Seto menatap singkat dengan tatapan berapi-api yang mengatakan, “Tolong jangan tinggalkan aku sendiri di sini!”, tapi aku, sedikit agak kejam, langsung saja menutup pintu.

“Kau bisa melakukannya, Seto!” gumamku pada diriku sendiri, sebelum menuju ... menuju ke kamar mandi.

Melangkah menyusuri koridor, aku menemukan pintu berlabel “W/C.” Meskipun aku tak begitu mengerti arti dari tulisan bahasa inggris itu, aku tetap tahu maksudnya adalah toilet. 

Aku berjalan masuk sambil menghela nafas panjang. Entah kenapa, berada di sini membuatku merasa jauh lebih nyaman.

Mungkin karena aku selalu berbagi kamar dengan orang lain, satu-satunya tempat di mana aku benar-benar dapat bersantai hanya di toilet.

Kesimpulan semacam itu agak menyedihkan, jadi aku mencegah diri untuk menggali lebih dalam pemikiran itu.

Tapi, apa yang harus dilakukan setelah ini?

Bahkan jika aku kembali, ruangan itu tetap tidak akan nyaman pada saat ini.

Dan lagi, jika aku bersembunyi di toilet, mungkin menimbulkan orang lain dalam keluarga ini akan khawatir

Beneran, apa yang haru…

"Aku pulang!"

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dengan jelas melalui pintu, berdering dari pintu masuk, dan karena suara itu, detak jantungku mulai mempercepat karena khawatir.

Benar setelah itu, ada derai langkah kaki energik, dentingan pintu ditarik terbuka, dan kemudian mendadak hening.

Itu mudah menyimpulkan bahwa “kakak” telah pulang ke rumah.

Dari suaranya, dia tampak seperti orang yang ramah. Tidak gelap atau licik.

Tunggu, tapi mungkin, bagaimana jika, dia benar-benar licik…?

……Tidak, apa yang kupikirkan?

Sampai sekarang, aku belum menjadi sasaran kebencian dari orang-orang yang menganggapku  “iblis” bahkan tanpa melakukan kotak denganku?

Meski begitu, aku telah melakukan hal yang sama berdasarkan hanya dengan suara saja sekarang. Mengerikanya aku.

Aku tidak akan tahu pasti sampai aku melihatnya. Begitulah manusia. 

Dengan tekad kuatku, aku berjalan keluar dari toilet.

Dilihat odari suara sebelumnya, perempuan tu harusnya langsung pergi ke Ruangan Anak-Anak tepat setelah pulang. 

Yang berarti, tidak tertutup kemungkinan bahwa Seto dan Kido sudah selesai berkenalan dengan "kakak". 

Meskipun pasti akan ada beberapa kegugupan, jika itu mereka berdua, aku yakin mereka akan baik-baik saja.

Bahkan jika mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik karena gugup, setidaknya mereka tidak akan mengatakan sesuatu yang terlalu kasar atau dingin. 

Bahkan merak mungkin sudah mengobrol dengan gembira pada saati ini.. 

Saat hipotesis ini melintas di benakku, aku mendekati pintu untuk Ruangan Anak-Anak, mengambil napas dalam-dalam dan meletakkan tangan pada pegangan pintu.

Namun, saat aku hendak membuak pintu, sebuah suara yang terdengar konyol “Gueh!” datang dari dalam.

……Tunggu.

Aku pernah mendengar suara ini sebelumnya, entah di mana.

Harusnya… waktu itu, di sebuah taman…

Sebagaimana pikiranku mendekati kesimpulan bahwa, aku datang ke kenyataan yang tak bisa dipercaya, menarik pintu dan terbuka dengan cepat. 

Seperti yang kuharapkan, aku melihat seorang perempuan meringkuk di tanah, mengerang sambil menggeliat kesakitan.

Di sampingnya berdiri, Kido menatap bolak balik antara aku dan perempuan yang terjatuh, Kido bergumam, “K-Kenapa dia tak mundur saat aku memukulnya… Mengapa ada dua Kano…?”

Setelah melihat situasi saat ini, aku membanting dan menutup pintu Ruangan Anak-Anak, sebelum berlari kembali ke kamar mandi, mengunci pintu dan terbenam di atas lututku.

"Oh, Tuhan, kumohon tidak…"

Ini benar-benar mengerikan. 

Meskipun tidak ada gunanya mengeluh kepada dewa yang mungkin tidak ada, aku masih tidak bisa menahan diri dan menyuarakan pikiranku. 

Siapa yang akan berpikir bahwa "kakak" akan menjadi perempuan yang aku temui di taman itu ...? 

Ini terlalu kebetulan. Apakah hal-hal seperti ini bahkan terjadi di dunia ini? 

Sebaliknya, siapa di bumi ini bertugas membuat hal-hal seperti ini terjadi? Sebaiknya kau mengaku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu.

…Tidak, jika hanya begitu maka sederhana katakan saja “Oh, kebetulan sekali!” seharusnya sudah cukup.

Namun melihat posisinya sekarang, dia pasti baru saja menerima pukulan keras, dari Kido. Tidak diragukan lagi.

Sekarang aku pikir, tadi dia mungkin berlari ke dalam ruangan, mengatakan sesuatu seperti "Aku adalah Kakak kalian~!" Sebagai pengenalan dirinya. 

Terhadap adik-adik masa depannya, interaksi semacam itu tidak harus terlihat aneh sama sekali. Bahkan, itu harus menjadi peristiwa yang menyenangkan. 

Namun, bahkan gerakan lucu itu pasti dimaafkan dari sudut pandang Kido.

Sementara gugup menunggu kedatangan si  "kakak," aku yang saat ini terlibat dalam sebuah perdebatan dengannya, tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan dalam wujud perempuan itu yang sering kugunakan, mengatakan sesuatu yang konyol seperti, "Aku ini kakak kalian~! "

Yah…….

"……Dia pasti akan menghajarku."

Seakan untuk meredam gumamanku, gedoran keras tiba-tiba datang dari pintu. 

Tepat setelah itu, gagang pintu mulai berdenting seperti seseorang memutarnya denga keras dari luar. 

Aku mau tak mau menjerit ketakutan.

"Kau ada di dalam, 'kan? Ayo keluar. Sekarang."

Kido berbicara dengan nada yang pelan, tapi yang kudengar malah “Aku akan membunuhmu.”

Aku telah menantikan saat Kido akhirnya berbicara kepadaku lagi sepanjang minggu ini, tapi aku tidak pernah berpikir akan berada di situasi seperti ini. Dunia ini benar-benar sangat mengerikan.

"P-Perutku sedikit sakit……"

"Begitu. Aku akan membuatmu keluar dari kesengsaraanmu. Jadi keluar ke sini."

"Eeeek—! A-Ayolah, beri aku istirahat di sini…! Aku tak tahu akan jadi seperti ini…!" Aku memohon dengan suara yang mungkin menjadi nada paling menyedihkan yang pernah digunakan dalam hidupku.

Tepat setelah itu, ada gedoran keras dari di pintu, seolah-olah itu akan dihancurkan.

"Aah, aku tak bisa lari sekarang. Jika aku menerima pukulan itu, aku mungkin akan mati." Aku pun pasrah membukap pintu.

Tak perlu dikatakan, ekspresi Kido penuh kemarahan, mengucapkan.

"Ada kalimat terakhir?"

"……Biarkan aku mengatakan—— Gah—!!"

Aku hanya mengatakan setengah kalimatku ketika pukulan kuat Kido mengenai dadaku. Tida mampu berdiri, aku terjatuh di lantai kamar mandi.

……Kenapa kau menanyakan kata-kata terakhirku, jika kau tidak membiarkanku menyelesaikannya?

Aaah… Kesadaranku melayang.

Seto, bahkan saat aku pergi, kau tidak boleh kalah dari Kido, oke? Kau harus lebih kuat dan menyelamatkan diri.

"…Huh? Kau…"

Suara seseorang melayang dari kejauhan, Siapa itu?

"Sudah kuduga! Kau anak yang kutemui di taman sebelumnya! Wow~ kebetulan sekali!"

Kesadaran ditarik dari ambang kehampaan oleh suara perempuan itu.

Buru-buru bangkit meskipun masih terasa sakit, aku melihat perempuan muda itu tersenyum ke arahku. 

Rambut hitam panjang dan mata hitam ... Perempuan itu adalah yang kutemui hari itu, sepenuhnya hampir tidak berubah dari hari itu.

"Sudah lama sekali! Apa kau masih mengingatku?"

Wujud itu, suara itu, bau itu… Aku tidak lupa, bahkan tidak untuk seharipun.

Benar setelah kami mengatakan “Ayo bermain bersama lagi besok,” kami tidak pernah bertemu satu sama lain lagi. Berpikir bahwa kami akan bertemu di situas seperti ini……

……Tapi yah, pertemuan kembali di toilet agak…

"Ah, p-perutmu…"

Mungkin berpikir bagaimana dia memukulnya sebelumnya, Kido mengusap perut perempuan itu dengan ekspresi cemas.

"Hm? Bukan masalah! Tak apa-apa! Aku sudah latihan, setiap saat!"

Perempuan itu membusungkan dadanya dengan bangga saat berbicara, mengatakan, “Aku takkan mati dengan cara yang normal, kau tahu!”

"Tapi aku sangat terkejut! Aku tak berpikir akan menerima pukulan begitu mendadak! Aah, kau benar-benar memiliki Serangan Ultimate super kuat!" Perempuan itu tersenyum cerah, menepuk kepala Kido.

Kido terlihat malu, tapi di saat yang sama, di berkata. “Maafkan aku… Tapi ini semua salah Kano,” katanya, dengan santai mendesak semua kesalahan padaku.

"Ah, kau juga bilang seperti itu barusan. Emangnya ada apa?" Perempuan itu bertanya, memiringkan kepalanya.

"T-Tidak! Bukan apa-apa! Ada alasan yang lebih mendalam…"

Merasa sangat bersalah, aku memberikan jawaban yang bisa kupikirkan.

"Alasan yang lebih mendalam? Hmmm, itu terdengar menarik…"

Fakta bahwa aku telah menggunakan kalimat yang tampaknya menarik ketertarikan perempuan ini lebih jauh.

Dia menatapku dengan ekspresi bertanya-tanya. 

Sekali lagi, aku menyadari bahwa bentuk, suara, dan bau perempuan ini benar-benar identik dengan perempuan dalam ingatanku. 

Omong-omong ... mengapa bentuk perempuan ini menetap begitu mendalam dalam pikiranku setelah kami hanya mengalami pertemuan singkat?

Bahkan hanya mengingat bentuk kucing membutuhkan waktu yang lama bagiku ...

Melihatku bicara gagap, memberi respon yang tidak jelas, perempuan itu memberi senyum, mengatakan, 

“Yah~ Sudahlah~”

"Lupakan saja itu sekarang, mari kita memperkenalkan diri! Perkenalan diri! ya?" Dia berbalik saat berbicara, dengan cepat berjalan kembali menuju Ruang Anak-Anak.

Melihat tindakannya, kemudian Kido melotot ke arahku, sebelum berkata dengan keras “Jangan kira aku memaafkanmu. Kau harus menjelaskan ini nanti.” Setela itu, dia berbalik untuk mengikuti perempuan itu.

Tampaknya Kido masih memusuhiku. 

Memperkirakan bahwa mereka berdua sudah kembali ke kamar, aku menghela napas panjang sebelum kembali juga.

~~~

Setelah kembali ke kamar, aku melakukan apa yang  kubisa untuk menenangkan Seto.

Dia menatapku dengan air mata di matanya, berkata, "Aku benar-benar berpikir kau akan dibunuh ..." Meskipun, kenyataan bahwa aku tidak mati mungkin hanya berkat keberuntungan.

Jika aku telah dipukul di tempat yang lebih serius, aku mungkin akan benar-benar mati. 

Dengan instruksi perempuan itu, kami bertiga duduk berbaris, langsung menghadap pada dirinya.

"Terus, ini waktunya untuk perkenalan!"

Perempuan itu terlihat sangat bersemangat, seolah dia sudah lama menunggu saat seperti ini.

"Aku Ayano. Ayano Tateyama! Kalian semua harus memanggilku Kakak, oke?"



Berlawanan dengan sikap Ayaka-san barusan, bahwa “tidak perlu untuk memanggilnya Ibu jika kami tidak ingin”, perempuan bernama Ayano membusungkan dadanya saat ia mengatakan kata-kata tersebut.

"N-Namaku Tsubomi Kido. Senang bertemu dengnamu." Kido langsung mengatakannya dengang tersenyum kecil.

Di sampingnya, Seto menyaksikan percakapan ini dengan ekspresi sangat terkejut. 

Itu tidak mengherankan. Setelah semuanya, Kido memiliki ekspresi ramah yang dia jarang tunjukka kepada kami, dan begitu mudah memberi tahu nama depannya, yang ia selalu menolak untuk memberitahu kami. Kejutan ini wajar. 

Aku menarik kembali ucapanku "itu penampilan menurut Kido yang tak teduga," hanya memandang dengan perasaan agak kesal.

Setelah itu, Seto juga melakukan perkenalan, “Aku Kousuke Seto…”

Meskipun itu benar-benar singkat, tapi ia mampu memberikan perkenalan yang tepat, jadi yang dia lakukan menunjukkan usahanya.

Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, membutuhku beberapa jam untuknya mengumpulkan keberanian untuk keluar dari tempat tidurnya, untuk memperkenalkan dirinya.

Dengan seperti itu, tampaknya dia sudah berubah cukup banyak.

Akhirnya, adalah giliranku. “Aku Shuuya Kano. Senang bertemu denganmu,” Kataku.

Perempuan itu hanya membuat suara kecil hingga giliranku, tapi setelah aku berbicara, dia tertawa, mengatakan, “Sekarang aku akhirnya tahu namamu!”

Aku menunduk, merasa malu, dan bergumam pelan, “Ah, ya.”

"Baik~lah, sekarang semuanya sudah memberitahuku namanya, sudah waktunya untuk……" Tepat setelah perkenalan, perempuan itu berbicara dan mulai terlihat sedikit cemas untuk pertama kalinya.

Kami bertiga memiringkan kepala kami karena bingung mendengar kata-katanya. Tentang waktunya untuk ... apa? 

Dilihat dari nada bicaranya, tampaknya seperti sesuatu yang sudah direncanakan dari awal, tapi itu sulit untuk mengatakannya apa yang sebenarnya ia maksud dari ekspresinya sendiri. 

Kami menunggu kata-katanya dengan tenang, tapi dari tatapan gugup perempuan ini tampaknya kata berikutnya sedikit antiklimaks.

"Sekarang waktunya untuk memanggilku K-Kakak, 'kan?"

Dia melihat ke arah kami.

"Sebaliknya, Mbak saja juga tak apa-apa, jika kalian mau!"

Dia terus melirik sebentar ke arah kami, meskipun ... Kurasa "sebaliknya" adalah kata yang tidak tepat untuk digunakan.

Tapi aku mengerti.Jadi itu maksudnya.

Jadi sepertinya dia ingin saudara yang baru dia peroleh - kami - untuk mengakui dirinya sebagai seorang kakak. 

Melihat yang lainnya, Seto memiliki ekspresi kosong di wajahnya, namun Kido sepertinya berhat-hati menimbang hal-hal dalam pikirannya. 

Setelah beberapa saat, dia membuat suara lembut, sebelum melihat ke arah perempuan itu, berteriak, "Kakak." 

Perempuan itu tampak gembira, dan mengulurkan tangan untuk menepuk kepala Kido, berkata, "Tsubomi ~! Jadi ~ imut! "Setelah beberapa saat, tiba-tiba berbalik arah Seto dan aku. 

Mata berkilauan nya jelas mengatakan "Sekarang giliran kalian untuk memanggilku Kakak berikutnya!", baik Seto dan aku sedikit menyusut akibat rasa tekanan tiba-tiba itu.

"A-Ada apa? Aku Kakak kalian, benar? Ayolah…"

Saat dia mengatakan hal itu, dia membungkuk lebih dekat. Sebenarnya, rasanya seperti dia memberi aura berbahaya pada saat ini.

"K-Kakak!" Seto memanggilnya, tidak bisa untuk menahan tekanannya.

Meskipun ia mengatakan itu dengan “memaksanya,” perempuan itu nampak tak memikirkannya sama sekali, dan mengulurkan kepala menepuk kepala Seto juga “Senang bertemu kamu~! Kousuke~!”

Seto, secara mengejutkan, terlihat tampak puas.

Itu berarti aku adalah satu-satunya yang tersisa.

Perempuan itu menatapku, ke arahku sekali lagi. 

Yah, hanya memanggilnya dengan apa yang dia inginkan akan menjadi cara terbaik untuk pergi, tapi jujur​​, aku pikir dia "seusia denganku" atau "setahun lebih muda" ketika kami pertama kali bertemu, jadi ini terasa sedikit aneh.

Namun, perempuan itu tidak bisa membaca pikiranku, jadi dia mendekat, berkata, "Ayo ~ Aku Kakakmu ~ "

Sudah cukup. Aku harus menyerah pada saat ini. Bahkan jika rasanya akan aneh, ini hanya sebutan. Ini tidak akan menjadi masalah besar setelah kukatakan.

"Ka...Kak."

Saat itu aku mengatakannya, itu terasa, entah bagaimana, sesuatu dalam hatiku keluar diam-diam menyelinap bersembunyi. 

Padahal, setidaknya, setelah aku memanggilnya, pikiranku sepertinya telah mulai menganggap dirinya sebagai "kakak" sebenarnya. 

Perempuan itu mengedipkan mat, seolah-olah terkejut, mendengar kata-kataku. "Kak ... jadi ada itu juga, ya ..." 

Aku bertanya-tanya tentang arti kata-katanya, tapi setelah beberapa saat, dia berkata, "Oh yah, itu bagus juga! Senang bertemu denganmu, Shuuya! "Pada saat yang sama, ia mengulurkan tangan untuk menepuk kepalaku. 

Itu adalah saat di mana perempuan di depanku menjadi "Kakak" dalam hatiku.

Mendapatkan tepukan kepala darinya sedikit berbeda dari Ayaka-san. Dia membuatku merasa sedikit gelisah.

Mungkin karena malu, aku menarik perlahan mundur, tapi Kakak segera menggembungkan pipinya, berkata, "Kau berusaha menghindar, kan ~?" 

Ini seharusnya tidak menjadi kejutan. Itu memalukan untuk menerima tepukan kepala di depan orang lain, setelah semuanya.

"Sekali lagi!"

Melihat dia memanjangkan lengannya dengan kening berkerut, entah kenapa, aku tidak bisa menolak. 

Ketika dia masih hanya "perempuan," aku pasti hanya stutteringly menyikat permintaannya, tapi sekarang aku menganggapnya sebagai seorang kakak, hal itu tidak masalah lagi.

Aku mencondongkan tubuh ke dekatnya dengan sikap pasrah, dan dia meletakkan tangannya di atas rambutku, mengusap kepalaku penuh kasih sayang sambil mengatakan "Anak ba~ik~!" 

Tubuhku terpaku, tegang karena situasu canggung ini, dan aku bisa melihat Kido cekikikan padaku setelah melihat ini.

……Berapa lama ini akan bertahan? 

Saat itu, aku ingin mengakhirinya sesegera mungkin, tapi di saat yang sama ... ada perasaan bahwa aku ingin terus selamanya. 

Menoleh ke belakang, mungkin aku telah mengalihkan rasa kasih sayangku pada Ibu ke Kakakku.

Setelah semuanya ... sejak hari itu, saat itulah, hingga "saat akhir" ... aku tidak pernah, bahkan tidak sekalipun, mampu menentang keinginannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar