Rabu, 23 Juli 2014

Volume 2 Chapter 5 : Headphone Actor III




Aktor Headphone III

Tak ada lagi orang lain di sekitarku.

Terhalang oleh bangunan, matahari terbenam yang tadinya tersembunyi dapat terlihat dengan sangat baik dari tempat ini.
Dunia diwarnai warna merah tua, aku pikir itu terlihat seperti api yang mengkonsumsi segalanya.

Bergegas menaiki lereng curam, dengan napas lemah, aku mencapai puncak bukit.
Pemilik suara dari headphone yang membawaku ke sini menggumamkan sesuatu, tapi karena aku sepenuhnya berkonsentrasi pada napasku, aku tak bisa mengerti apa yang dikatakannya.

Kemungkinan besar sudah waktunya untuk mengatakan bahwa semuanya sudah hampir berakhir. Tidak, mungkin telah selesai.

However, setelah tiba di puncak bukit, tak ada apa-apa di sana.
Lebih tepatnya, hanya ada dinding besar yang memproyeksikan langit besar.

"…. Ini tidak benar."

Aku merasakan rasa ketidaknyamanan pada sesuatu yang berada di sana, meskipun aku tidak ingat apa itu.

Napasku semakin cepat perlahan kembali ke ritme yang normal.
Secara bertahap, arti di balik rasa ketidaknyamanan ini semakin jelas.

—-Ini tidak berarti bahwa ada sesuatu yang tidak ada di sini.
"Dia" tidak ada di sini.

"Meski aku pikir pada akhirnya aku bisa mengatakan padanya ….."

Kata-kata yang keluar dari mulutku secara tak sadar.

Bayangan panjangku menjadi lebih tipis.
Senja sudah berakhir.

「…. Sudah kuduga, ini sudah … terlambat. Meski di sini— meskipun tempat ini adalah satu-satunya tempat untuk mengatakan padanya …..!」

Mendengar kata-kata itu dari headphone, meskipun aku tidak ingat, tampaknya dia berbicara untuk apa yang ada di dalam hatiku.

「Pada akhirnya, semuanya sudah berakhir! Segalanya …. dari itu— ….!!」

——Menyerah sajalah.
Aku tidak akan bisa bertemu “dia” lagi.
Aku sudah tahu itu.

「Jika … dunia semacam ini, lebih baik hanya untuk——!」

Jangan mengatakan sesuatu seperti itu.
Meski aku tak berhasil,
pada akhirnya, Aku—

——menyadari perasaanku sendiri.


Ketika aku berbalik pada saat itu, kota ini sudah memasuki saat-saat akhir.
Dari balik langit yang ambruk, aku mengucapkan kalimat terkahirku padanya.

"….. Maafkan aku …. Takane."




Aku memandangi puing-puing dari program yang terbakar dalam kesaradanku yang memudar. 
Kalimat yang datang dari headphone-ku adalah kata-kata yang lebih dari cukup untuk mengundangku kembali ke dalam tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar