Minggu, 27 Juli 2014

Volume 5 Chapter 2 : On the Roof One Day




Di Atap Pada Suatu Hari

“Dan kemudian, Haruka memakan semuanya! Kau tahu, dia melakukannya bahkan meski dokter sudah mencoba untuk menghentikannya?! Dia juga mengatakan sesuatu seperti ‘Tidak apa-apa karena rasanya enak~’”
Selesai dengan kata-kata kasarnya yang agresif, Takane menghela nafas.

Kami berada di atap sekolah pada hari  yang tenang, siang hari yang sejuk. Matahari tidak meninggalkan ruang gelap; dan menyinari semua ubin lantai, perlahan memanaskan setiap satu di antaranya.
Antara waktu aku duduk di sini dan mulai mendengarkan Takane bicara sampai sekarang, sudah sekitar sepuluh menit.

“Ahaha. Pasti sulit bagimu, Takane.”

Meskipun aku seperti memberikan respon yang pribadi dalam usaha untuk membuat tampak seperti aku mengurus urusanku sendiri, Takane masih berbicar dengan cemberut, “Ahhh setelah aku berbicara soal itu, aku jadi terbawa dan lapar.”



Takane adalah kelas dua di SMA ini, dan juga salah satu murid pada kelas Kebutuhan Spesial.

Suka memakan buri daikon dan membenci tomat.

Cakap dalam game, hobinya bermain game, pekerjaan rumah yang harus dilakukannya juga untuk game; dia adalah seorang tipe gamer. 

Anak tunggal, orang tuanya hampir selalu berada di luar negeri karena pekerjaan. Hasilnya, tampak bahwa dia tinggal bersama dengan neneknya.

Tapi dari semua ciri-cirinya, yang paling menonjol adalah bahwa dia selalu kesal.

Bahkan sekarang, meskipun dia hanya mengeluhkan beberapa hal, dia tampak terlihat seperti marah.

Jujur, jika suatu topik akan membuatmu marah, lebih baik untuk menghindarinya dan berusaha untuk tidak membicarakannya.

Kukira inilah yang dikatakan “seorang gadis sedang jatuh cinta,” sebagai hasilnya mereka bahkan tidak mampu untuk melakukannya.

Sebetulnya, Takane sedang jatuh cinta dengan seorang anak lelaki sekelasnya, bernama “Haruka.”
Tidak tidak, dia sebenarnya tidak pernah memberitahuku sebelumnya, tetapi sebagai orang yang selalu mendengar keluhannya, semua seperti “dan kemudian Haruka”, tentu saja aku bisa manyadari sesuatu seperti ini.

Karena itu, semua omongan kasar Takane tentang butuh untuk ditafsirkan sebagai caranya menunjukkan kasih sayang pada Haruka.

Jika aku menadadak mengatakan suatu kalimat seperti “Dasar pria yang menyusahkan~” dalam perjanjian, pasti akan benar-benar menyebabkan masalah.

Ya, to menghindari menyebabkan masalah, aku harus hidup mana aku hanya memikirkan urusanku sendiri dan menyimpannya untuk diriku sendiri. Hal ini, untuk bertahan pada hari-hari di sekolah ini, poin paling penting yang harus diingat.

“Omong-omong, tidakkah mereka berdua pergi terlalu lama? Berapa lama waktu yang diperlukan bagi mereka hanya untuk membeli makan siang”

“Mm~ Kupikir itu karena…ada banyak orang di kantin sekarang?”

Saat aku menyelesaikan kalimat, Takane menggerutu “Siapa yang tahuuuu.” Dia sungguh seseorang yang dengki dan sulit untuk berurusan dengannya.

Dan lagi, aku tak berhak berkata seperti itu.

Takane, memandang ke arah pintu yang memisahkan atap dari lantai bawah, tampak teringat sesuatu yang ingin dia katakan, dan dengan perlahan membuka mulutnya.

“…benar. Karena mereka berdua tak ada di sini, ada sesuatu yang ingin kutanya padamu.”
“Ya, apa itu?”

“Sebenarnya, bukan apa-apa. Sungguh aneh untuk menanyakan pertanyaan yang datang entah dari mana ini…” Kata Takane. Untuk menghindari topik, matanya sesaat berkelana ke tempat lain lagi.

Apa sebenarnya yang ingin dia tanya. Dia tidak mungkin untuk berkata kasar lagi.

“…Ayano, apakah kau…punya seseorang yang kau suka?”

Aku tertangkap basah oleh pertanyaan seperti ini.

Aku tidak berpikir Takane adalah tipe yang memikirkan hal-hal seperti itu.

“S-seseorang yang kusuka? Terlalu mendadak menanyakannya…”

Suara Takane ini jadi berrnada tinggi —kebingungan, dia berkata, “Eh?! Ah, apakah terlalu mendadak?! Kau tak perlu menjawabnya jika tak ingin! ahahaha!”
Kenapa malah jadi dia yang begitu malu? Dia bodoh sekali
.
“Tidak apa-apa, tak ada salahnya untuk menjawabnya. Karena…Aku tak menyukai siapapun.”
Setelah aku mengatakannya, Takane mendadak terdiam, dan menatapku dengan mata terbuka lebar.

“A-Ada yang salah? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?”

“T-tidak, bukan apa-apa…” Takane berkata, dan kemudia tertawa dengan gugup. Dari caranya berakting, sangat mudah untuk menebak jawaban yang dia harapkan dariku

Kemungkinan, dia ingin aku untuk mengatakan bahwa aku suka pada laki-laki itu.
…memikirkan hal itu, suasana hatiku mau tak mau bahkan jadi lebih buruk.

Kalau bisa, aku akan segera pulang ke rumah segera. Tapi tentu saja, aku tidak bisa melakukannya.
Untuk mengganti topiknya, aku berkata, “Tapi bener deh, mereka benar-benar sangt lama. Aku harap mereka bisa lebih cepat sedikit…”

Kemudia, Takane membalas, “Sebenarnya, mereka sedang ngapain?! Aku sangat lapar~!” …dalam beberapa menit, aku menduga mereka berdua akan datang dengan membawa makan siang.

Jika demikian begitu, aku akan harus melalui banyak hal merepotkan lagi. Sungguh, menyakitkan.
Terutama laki-laki itu. Jujur, aku bahkan tidak ingin melihat wajahnya.
Aku membencinya dari saat pertama aku bertemu laki-laki itu.

Saat aku memikirkannya, aku mendengar suara gagang pintu terbuka.

“Ah~! Maaf kami terlambat! Aku yakin kalian pasti sangat lapar~”
“Mau bagaimana lagi. Kita harus mendorong dan menerobos melewati kerumunan.”

Dua suara melayang melalui celah pintu yang seperti terbuka itu.
Meski mereka datang lebih cepat dari yang kuharapkan, tidak peduli lagi. Aku hanya harus hidup seperti itu lagi, hanya seperti aku di masa lalu, tanpa keterikatan pada sesuatu atau seseorang, Aku hanya harus mengurus urusanku sendiri.

Aku perlahan menarik nafas dan berbicara dengan senyum.

“Selamat datang kembali, Shintaro.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar